BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Menikah
termasuk dari sunnah yang paling ditekankan oleh setiap Rasul, dan juga
termasuk dari sunnah yang dianjurkan oleh Rasulullah SAW.Allah berfirman:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ
لأَيَاتْ لِّلْعَالَمِينَ
"Dan
diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri
dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan
dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian
itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir"
(Ar-Ruum: 21)[1]
Menikah
dan kehidupan berkeluarga merupakan sunnatullah terhadap makhluk, yang mana dia
merupakan sesuatu yang umum dan mutlak dalam dunia kehidupan hewan serta
tumbuh-tumbuhan.
Adapun
manusia: bahwasanya Allah tidak menjadikannya seperti apa yang ada pada
kehidupan selainnya yang bebas dalam penyaluran syahwat, bahkan menentukan
beberapa peraturan yang sesuai dengan kehormatannya, memelihara kemuliaan dan
menjaga kesuciaannya, yaitu dengan melakukan pernikahan syar'i yang menjadikan
hubungan antara seorang pria dengan seorang wanita merupakan hubungan mulia,
dilandasi oleh keridhoan, dibarengi oleh ijab kabul, kelembutan serta kasih
sayang.
Sehingga
bisa menyalurkan syahwatnya dengan cara benar, menjaga keturunan dari kerancuan
dan juga sebagai penjagaan bagi wanita agar tidak dijadikan sebagai mainan bagi
setiap orang yang menjamahnya.
B. Rumusan Masalah
Indentifikasi
masalah dalam Makalah ini adalah:
1. Apa
pengertian nikah?
2. Bagaimana
hukum nikah itu?
3. Bagaimana
cara memilih calon?
4. Apa
pengertian Kafa’ah?
C. Tujuan Penulisan
1. Untuk
mengetahui pengertian nikah yang benar menurut al-quran dan al-hadits.
2. Untuk
mengetahui hukum-hukum nikah.
3. Supaya
bisa memilih calon yang baik.
4. Untuk
mengetahu tentang Kafa’ah
BAB
II
NIKAH
1.
Pengertian
Nikah
Menurut Imam Nawawi : “Nikah secara bahasa adalah
bergabung, kadang digunakan untuk menyebut “akad nikah” , kadang digunakan untuk
menyebut hubungan seksual.”[2]
Nikah bahasa arab diartikan dengan
kawin.Kalimat nikah diartikan dengan mengawinkan. “Ala
MazahibilArba`ah”menyebutkan makna nikah menurut bahasa yang artinya
adalahbersenggama atau bercampur. Dalam pengertian majaz orang menyebut nikah
sebagai akad nikah, karena akad nikah adalah sebab bolehnya bersenggama.Nikah
ditinjau dari segi syariat ialah pertalian hubungan (Akad)antara laki-laki dan
perempuan dengan maksud agar masing-masing dapatsaling menikmati yang lain
(Istimtaa`) dan membentuk keluarga yangsoleh dan membangun masyarakat yang
bersih.
Sedangkan
Menurut Undang-Undang Nomor 1 psal 2 Tahun 1974 pengertian pernikahan adalah
ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami
isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pernikahan
dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum perkawinan masing-masing agama dan
kepercayaan serta tercatat oleh lembaga yang berwenang menurut perundang-undangan
yang berlaku.
Perkawinan
adalah salah satu bentuk ibadah yang kesuciannya perlu dijaga oleh kedua belah
pihak baik suami maupun istri. Perkawinan bertujuan untuk membentuk keluarga
yang bahagia sejahtera dan kekal selamanya. Perkawinan memerlukan kematangan
dan persiapan fisik dan mental karena menikah / kawin adalah sesuatu yang
sakral dan dapat menentukan jalan hidup seseorang.
2.
Hukum
Nikah
Para ulama ketika membahas hukum
pernikahan, menemukan bahwa ternyata menikah itu terkadang bisa mejadi
sunnah(mandub), terkadang bisa menjadi wajib atau terkadang juga bisa menjadi
sekedar mubah saja. Bahkan dalam kondisi tertentu bisa menjadi makruh.[3]
Dan ada juga hukum pernikahan yang haram untuk dilakukan.Semua akan sangat
tergantung dari kondisi dan situasi seseorang dan permasalahannya. Apa dan
bagaimana hal itu bisa terjadi, mari kita bedah satu persatu.
A.
Pernikahan
Yang Wajib
Menikah itu wajib
hukumnya bagi seorang yang sudah mampu secara finansial dan juga sangat
beresiko jatuh ke dalam perzinaan. Hal itu disebabkan bahwa menjaga diri dari
zina adaah wajib. Maka bila jalan keluarnya hanyalah dengan cara
menikah,
tentu saja menikah bagi seseorang yang hampir jatuh ke dalam jurang zina wajib
hukumnya.
Imam
Al-qurtubi berkata bahwa para ulama tidak berbeda pendapat tentang wajibnya
seorang untuk menikah bila dia adalah orang yang mampu dan takut tertimpa
resiko zina padadirinya.[4]
Dan bila dia tidak mampu, maka Allah SWT pasti akan membuatnya cukup dalam
masalah rezekinya,
sebagaimana
firman-Nya :
وَأَنكِحُوا
اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن
يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيم.ٌ
Dan
kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
Jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah
Maha luas lagi Maha Mengetahui.(QS. An-Nur : 32)[5]
B.
Pernikahan
Yang Sunnah
Sedangkan
yang tidak sampai diwajibkan untuk menikah
adalah mereka yang sudah mampu namun masih tidak merasa takut jatuh
kepada zina. Barangkali karena memang usianya yang masih muda atau pun
lingkungannya yang cukup baik
dan
kondusif. Orang yang punya kondisi seperti ini hanyalah disunnahkan untuk
menikah, namun tidak sampai wajib. Sebab masih ada jarak tertentu yang menghalanginya untuk bisa
jatuh ke dalam zina yang diharamkan Allah SWT. Bila dia menikah, tentu dia akan
mendapatkan keutamaan yang lebih dibandingkan dengan dia diam tidak menikahi
wanita. Paling tidak, dia telah melaksanakan anjuran Rasulullah SAW untuk
memperbanyak jumlah kuantitas umat Islam.
Dari
Anas bin Malik RA bahwa Rasulullah Saw bersabda,"Nikahilah wanita yang
banyak anak, karena Aku berlomba dengan nabi lain pada hari kiamat.
(HR. Ahmad dan dishahihkan oleh Ibnu Hibbam)[6]
Dari
Abi Umamah bahwa Rasulullah SAW bersabda,"Menikahlah, karena aku berlomba
dengan umat lain dalam jumlah umat. Dan janganlah kalian menjadi seperti para
rahib nasrani. (HR. Al-Baihaqi 7/78)[7]
Bahkan
Ibnu Abbas ra pernah berkomentar tentang orang yang tidak mau menikah sebab
orang yang tidak sempurna ibadahnya.
C.
Pernikahan
Yang Haram
Secara
normal, ada dua hal utama yang membuat seseorang menjadi haram untuk menikah.
Pertama, tidak mampu memberi nafkah. Kedua, tidak mampu melakukan hubungan seksual.
Kecuali bila dia telah berterus terang sebelumnya dan calon istrinya itu
mengetahui dan menerima keadaannya.
Selain
itu juga bila dalam dirinya ada cacat pisik lainnya yang secara umum tidak akan diterima oleh
pasangannya. Maka untuk bisa menjadi halal dan dibolehkan menikah, haruslah sejak
awal dia berterus terang atas kondisinya itu dan harus ada persetujuan dari
calon pasangannya. Seperti orang yang terkena penyakit menular dimana bila dia menikah
dengan seseorang akan beresiko menulari pasangannya itu dengan penyakit. Maka
hukumnya haram baginya untuk menikah kecuali pasangannya itu tahu kondisinya
dan siap menerima resikonya.
Selain
dua hal di atas, masih ada lagi sebab-sebab tertentu yang mengharamkan untuk
menikah. Misalnya wanita muslimah yang menikah dengan laki-laki yang berlainan
agama atau atheis. Juga menikahi wanita pezina dan pelacur. Termasuk menikahi
wanita yang haram dinikahi (mahram), wanita yang punya suami, wanita yang
berada dalam masa iddah. Ada juga pernikahan yang haram dari sisi lain lagi
seperti pernikahan yang tidak memenuhi syarat dan rukun. Seperti menikah tanpa
wali atau tanpa saksi. Atau menikah dengan niat untuk mentalak, sehingga menjadi
nikah untuk sementara waktu yang kita kenal dengan nikah kontrak.
D. Pernikahan Yang Makruh
Orang
yang tidak punya penghasilan sama sekali dan tidak sempurna kemampuan untuk
berhubungan seksual, hukumnya makruh bila menikah. Namun bila calon istrinya rela
dan punya harta yang bisa mencukupi hidup mereka, maka masih dibolehkan bagi
mereka untuk menikah meski dengan karahiyah. Sebab idealnya bukan wanita yang
menanggung beban dan nafkah suami, melainkan menjadi tanggung jawab pihak suami.
Maka pernikahan itu makruh hukumnya sebab berdampak dharar bagi pihak wanita.
Apalagi bila kondisi demikian berpengaruh kepada ketaatan dan ketundukan istri
kepada suami, maka tingkat kemakruhannya menjadi jauh lebih besar.
E. Pernikahan Yang Mubah
Orang
yang berada pada posisi tengah-tengah antara hal-hal yang mendorong
keharusannya untuk menikah dengan hal-hal yang mencegahnya untuk menikah, maka
bagi hokum menikah itu menjadi mubah atau boleh. Tidak dianjurkan
untuk
segera menikah namun juga tidak ada larangan atau anjuran untuk
mengakhirkannya.Pada kondisi tengah-tengah seperti ini, maka hukum nikah baginya
adalah mubah.
3.
Memilih
Calon
A. Menentukan
Kriteria
Dalam
menentukan kriteria calon pasangan, Islam memberikan dua sisi yang perlu
diperhatikan. Pertama, sisi yang terkait dengan agama, nasab, harta maupun
kecantikan. Kedua, sisi lain yang lebih terkait dengan selera pribadi, seperti masalah
suku, status sosial, corak pemikiran, kepribadian, serta hal-hal yang terkait
dengan masalah pisik termasuk masalah kesehatan dan seterusnya.
1.
Masalah Yang Pertama
Masalah
yang pertama adalah masalah yang terkait dengan standar umum. Yaitu masalah
agama, keturunan, harta dan kecantikan. Masalah ini sesuai dengan hadits
Rasulullah SAW,dalam haditsnya yang cukup masyhur.ا
Dari
Abi Hurairah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda,`Wanita itu dinikahi karena empat
hal : karena agamanya, nasabnya, hartanya dan kecantikannya. Maka perhatikanlah
agamanya kamu akan selamat (HR. Bukhari, Muslim)[8]
Khusus
masalah agama, Rasulullah SAW memang memberikan penekanan yang lebih, sebab
memilih wanita yang sisi keagamaannya sudah matang jauh lebih menguntungkan
ketimbang istri yang kemampuan agamanya masih setengah-setengah. Sebab dengan
kondisi yang masih setengah-setengah itu, berarti suami masih harus bekerja ekstra
keras untuk mendidiknya. Itupun kalau suami punya kemampuan agama yang lebih.
Tetapi kalau kemampuannya pas-pasan, maka mau tidak mau suami harus
`menyekolahkan` kembali istrinya agar memiliki kemampuan dari sisi agama yang
baik. Tentu saja yang dimaksud dengan sisi keagamaan bukan berhenti pada
luasnya pemahaman agama ata fikrah saja, tetapi juga mencakup sisi
kerohaniannya (ruhiyah) yangidealnya adalah tipe seorang yang punya hubungan
kuat dengan Allah SWT. Secara rinci bias di contohkan antara lain :
Ø Aqidahnya
kuat
Ø Ibadahnya rajin
Ø Akhlaqnya
mulia
Ø Pakaiannya
dan dandanannya memenuhi standar busana muslimah
Ø Menjaga
kohormatan dirinya dengan tidak bercampur baur dan ikhtilath dengan lawan jenis
yang bukan mahram
Ø Tidak
bepergian tanpa mahram atau pulang larut
Ø Fasih
membaca Al-Quran Al-Kariem
Ø Ilmu pengetahuan
agamanya mendalam
Ø Aktifitas
hariannya mencerminkan wanita shalilhah
Ø Berbakti
kepada orang tuanya serta rukun dengan saudaranya
Ø Pandai
menjaga lisannya
Ø Pandai
mengatur waktunya serta selalu menjaga amanah
Ø yang
diberikan kepadanya
Ø Berhusnuzhan
kepada orang lain, ramah dan simpatik[9]
Sedangkan
dari sisi nasab atau keturunan, merupakan anjuran bagi seorang muslim untuk
memilih wanita yang berasal dari keluarga yang taat beragama, baik status sosialnya
dan terpandang di tengah masyarakat. Dengan mendapatkan istri dari nasab yang
baik itu, diharapkan nantinya akan lahir keturunan yang baik pula. Sebab
mendapatkan keturunan yang baik itu memang bagian dari perintah agama, seperti
yang Allah SWT firmankan di dalam Al-Quran Al-Karim.
وَلْيَخْشَ الَّذِينَ لَوْ تَرَكُوا مِنْ
خَلْفِهِمْ ذُرِّيَّةً ضِعَافًا خَافُوا عَلَيْهِمْ فَلْيَتَّقُوا اللهَ
وَلْيَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا.
Dan
hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang
mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhada mereka. Oleh sebab
itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan
perkataan yang benar. (QS. An-Nisa : 9)
Sebaliknya,
bila istri berasal dari keturunan yang kurang baik nasab keluarga, seperti
kalangan penjahat, pemabuk, atau keluarga yang pecah berantakan, maka semua itu
sedikit banyak akan berpengaruh kepada jiwa dan kepribadian istri.
Padahal
nantinya peranan istri adalah menjadi pendidik bagi anak. Apa yang dirasakan
oleh seorang ibu pastilah akan langsung tercetak begitu saja kepada anak. Pertimbangan
memilih istri dari keturunan yang baik ini bukan berarti menjatuhkan vonis
untuk mengharamkan menikah dengan wanita yang kebetulan keluarganya kurang
baik. Sebab bukan hal yang mustahil bahwa sebuah keluarga akan kembali ke jalan
Islam yang terang dan baik. Namun masalahnya adalah pada seberapa jauh
keburukan nasab keluarga itu akan berpengaruh kepada calon istri.
Selain
itu juga pada status kurangbaik yang akan tetap disandang terus ditengah masyarakat
yang pada kasus tertentu sulit dihilangkan begitu saja. Tidak jarang butuh
waktu yang lama untuk menghilangkan cap yang terlanjur diberikan masyarakat. Maka
bila masih ada pilihan lain yang lebih baik dari sisi keturunan, seseorang
berhak untuk memilih istri yang secara garis keturunan lebih bai nasabnya.
2. Masalah Yang Kedua
Masalah
kedua terkait dengan selera subjektif seseorang terhadap calon pasanan
hidupnya. Sebenarnya hal ini bukan termasuk hal yang waji diperhatikan, namun
Islam memberikan hak kepada seseorang untuk memilih pasangan hidup berdasarkan
subjektifitas selera setiap individu maupun keluarga dan lingkungannya. Intinya,
meski pun dari sisi yang pertama tadi sudah dianggap cukup, bukan berarti dari
sisi yang kedua bisa langsung sesuai. Sebab masalah selera subjektif adalah hal
yang tidak bias disepelekan begitu saja. Karena terkait dengan hak setiap individu
dan hubungannya dengan orang lain. Sebagai contoh adalah kecenderungan dasar
yang ada pada tiap masyarakat untuk menikah dengan orang yang sama sukunya atau
sama rasnya. Kecenderungan ini tidak ada
kaitannya
dengan masalah fanatisme darah dan warna kulit, melainkan sudah menjadi bagian
dari kecenderungan umum di sepanjang zaman. Dan Islam bisa menerima
kecenderungan ini meski tidak juga menghidup-hidupkannya.
Sebab
bila sebuah rumah tangga didirikan dari dua orang yang berangkat dari latar
belakang budaya yang berbeda, meski masih seagama, tetap saja akan timbul
hal-hal yang secara watak dan karakter sulit dihilangkan. Contoh lainnya adalah
selera seseorang untuk mendapatkan pasangan yang punya karakter dan sifat
tertentu. Ini merupakan keinginan yang wajar dan patut dihargai. Misalnya seorang
wanita menginginkan punya suami yang lembut atau yang macho, merupakan bagian
dari selera seseorang. Atau sebaliknya, seorang laki-laki menginginkan punya
istri yang bertipe wanita pekerja atau yang tipe ibu rumah tangga. Ini juga
merupakan selera masing-masing orang yang menjadi
haknya
dalam memilih. Islam memberikan hak ini sepenuhnya dan dalam batas yang wajar
dan manusiawi memang merupakan sebuah realitas yang
tidak terhindarkan.
4.
Kafa’ah
Kafaah
dalam bahasa Arab berarti kesamaan atau kesetaraan. Rasulullah bersabda: “Kaum muslimin itu sama atau setara darahnya
satu sama lain”, maksudnya bahwa darah mereka sama satu sama lain dalam urusan
qishash dan diyat. Jadi tidak ada bedanya antara darah (nyawa) orang yang
terpandang dan darah (nyawa) orang yang tidak terpandang.
Adapun
yang dimaksud oleh para fuqaha dengan kafaah dalam masalah pernikahan ialah
bahwa sepasang suami isteri hendaknya sama atau setara dalam aspek-aspek
tertentu, yang mana jika hal itu tidak terpenuhi maka pada umumnya akan
menyebabkan ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga.
Pertimbangan
kafaah dalam pernikahan disandarkan pada :[10]
A.
Riwayat dari Ali ibn Abi Thalib ra,
bahwasanya Rasulullah saw bersabda kepadanya, “Hai Ali, janganlah engkau
mengakhirkan (menunda-nunda) tiga hal : sholat jika telah tiba waktunya,
jenazah jika telah hadir (untuk segera diurus dan dikuburkan), dan anak
perempuan yang siap menikah jika telah engkau dapatkan yang sekufu dengannya”.
B.
Riwayat dari Aisyah ra, bahwasanya
Rasulullah saw bersabda, “Pilih-pilihlah untuk tempat tumpahnya nuthfah kalian
(maksudnya isteri), dan nikahkanlah orang-orang yang sekufu”.
C.
Atsar dari Umar ibn Al-Khaththab ra.
Beliau berkata, “Sungguh aku melarang dihalalkannya kemaluan para wanita yang
terhormat nasabnya, kecuali dengan orang-orang yang sekufu”.[11]
Kafaah
Tidak Termasuk Syarat Sahnya Akad Nikah
Kafaah merupakan salah
satu diantara hak seorang isteri, sehingga seorang wali tidak boleh menikahkan
puterinya dengan laki-laki yang tidak sekufu dengannya. Kafaah juga merupakan
hak seorang wali, sehingga jika seorang wanita meminta atau menuntut kepada
walinya untuk dinikahkan dengan laki-laki yang tidak sekufu maka sang wali
boleh tidak mengabulkannya, dengan alasan tidak adanya kafaah. Tetapi
permasalahan selanjutnya ialah apakah kafaah termasuk syarat sahnya akad nikah
?
Terdapat
dua pendapat di kalangan para ulama. Yang paling tepat ialah pendapat yang
mengatakan bahwa kafaah tidak termasuk syarat sahnya akad nikah. Sebab, kafaah
merupakan hak bagi seorang wanita dan juga walinya, sehingga keduanya bisa saja
menggugurkannya (tidak mengambilnya). Inilah pendapat sebagian besar ulama,
diantaranya Imam Malik, Imam Asy-Syafi’i, dan para ulama Hanafiyah. Pendapat
ini juga diriwayatkan dari Imam Ahmad ibn Hanbal.
Kafaah merupakan
penghormatan bagi seorang wanita. Artinya, tidak setiap laki-laki bisa menikahi
seorang wanita.[12]
Tetapi tidak sebaliknya. Setiap laki-laki boleh menikah dengan wanita manapun
yang ia sukai. Jadi, kafaah dipersyaratkan atas laki-laki, tetapi tidak
dipersyaratkan atas wanita.
Para ulama yang
mewajibkan diterapkannya kafaah dalam pernikahan memandang bahwa yang
diharapkan dalam pernikahan adalah kebahagiaan suami isteri sepanjang hayat
mereka dan pertalian kekerabatan yang harmonis, dan itu semua sulit dicapai
tanpa adanya kafaah diantara keduanya, misalnya jika nasabnya, akhlaqnya, atau
yang semacamnya jauh tidak sederajat antara satu dan yang lainnya.
5.
Hikmah
nikah
Banyak hikmah nikah bagi kita semua
diantaranya:
A. Pernikahan merupakan suasana solihah yang
menjurus kepada pembangunan serta ikatan kekeluargaan, memelihara kehormatan
dan menjaganya dari segala keharaman, nikah juga merupakan ketenangan dan
tuma'ninah, karena dengannya bisa didapat kelembutan, kasih sayang serta
kecintaan diantara suami dan isteri.
B. Nikah merupakan jalan terbaik untuk memiliki
anak, memperbanyak keturunan, sambil menjaga nasab yang dengannya bisa saling
mengenal, bekerja sama, berlemah lembut dan saling tolong menolong.
C. Nikah merupakan jalan terbaik untuk
menyalurkan kebutuhan biologis, menyalurkan syahwat dengan tanpa resiko terkena
penyakit.
D. Nikah bisa dimanfaatkan untuk membangun
keluarga solihah yang menjadi panutan bagi masyarakat, suami akan berjuang
dalam bekerja, memberi nafkah dan menjaga keluarga, sementara isteri mendidik
anak, mengurus rumah dan mengatur penghasilan, dengan demikian masyarakat akan
menjadi benar keadaannya.
E. Nikah akan memenuhi sifat kebapaan serta
keibuan yang tumbuh dengan sendirinya ketika memiliki keturunan.
6.
Keutamaan
nikah
A. Separuh
dari agama
Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda:
"Apabila
seorang hamba menikah berarti ia telah menyempurnakan separuh dari agamanya,
oleh karena itu bertaqwalah kalian terhadap yang separuh lagi." (Ash-Shahihah
625).[13]
B. Allah
pasti menolong seorang yang menikah demi untuk menjaga kesucian diri.
Dari Abu Hurairah radhiyallahu 'anhu
bahwasanya Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wa sallam bersabda tentang tiga
golongan yang pasti mendapat pertolongan Allah. Diantaranya:"... seorang
menikah karena menjaga kesuciannya." (Hadits riwayat At-Tirmidzi dan Ibnu
Majah dan dihasankan oleh Syeikh Al-Albaani)
C. Mendapat
jaminan rezeki.
Allah
Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَأَنكِحُوا
اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن
يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيم.ٌ
Dan kawinkanlah orang-orang yang
sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari
hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika
mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. Dan Allah Maha
luas (pemberian- Nya) lagi Maha Mengetahui. (An-Nuur: 32)
D. Sunnah
para rasul
Firman
Allah Subhanahu wa Ta'ala:
وَلَقَدْ
أَرْسَلْنَا رُسُلاً مِن قَبْلِكَ وَجَعَلْنَا لَهُمْ أَزْوَاجًا وَذُرِّيَّةً
وَمَاكَانَ لِرَسُولٍ أَن يَأْتِيَ بِئَايَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ لِكُلِّ
أَجَلٍ كِتَابٌ
Dan sesungguhnya Kami telah mengutus
beberapa Rasul sebelum kamu dan Kami memberikan kepada mereka istri-istri dan
keturunan. (Ar-Ra'du:38)
Rasulullah Sallallahu 'Alaihi Wa sallam
bersabda:"Empat perkara yang termasuk sunnah para rasul: sifat
malu,memakai wangian, bersugi dan nikah." (Hadits riwayat At-Tirmidzi, ia
berkata: "Hadits hasan shahih)
E. Sarana
meraih ketentraman hidup
Allah
Subhaanahu Wa Ta'ala berfirman:
وَمِنْ ءَايَاتِهِ خَلْقُ السَّمَاوَاتِ
وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي ذَلِكَ
لأَيَاتْ لِّلْعَالَمِينَ
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah
Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu
cenderung dan merasa tenteram kepadanya. (QS. Ar Ruum:21)
DAFTAR
PUSTAKA
CD Holy Qur’an
Al-Hasyim,Ahmad,2000.Mukhtaarul Haadis,jakarata,Al-Haramain jaya Indonesia.
Sayyid sabiq,1985.fikih Sunnah 6, PT.Al-ma’arif:Bandung 1985
Ibnu Mas’ud dan Zainal Abidin, Fiqh Madzhab Syafi’i, Pustaka
Setia: Bandung, 2007. Hal 260
Anonimaus,kompilasi hukum islam di Indonesia,Pustaka
Setia : Bandung,2007.
[1] CD Holy Qur’an
[2]
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 6
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan
Islam di Indonesia Hal 50
[4]
Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah jilid 6,halaman 22
[5] CD Holy Qur’an
[6] Sayid Ahmad Al-hasyim, Mukhtaarul Haadis.
[7] Sayid Ahmad Al-hasyim, Mukhtaarul Haadis.
[8] Wahbah Zuhaili, Fiqhul
Islami wa Adillatuhu, Hal. 6492
[9] H. Ahmad Sarwat, Lc Fikih nikah
[10]
Imam Taqiyuddin, kifayatul akhyar.
[11] Fathul Qadiir J II hal. 417
[13]
Shoheh Bukhari-Muslim hlmn 625
Tidak ada komentar:
Posting Komentar