PENDAHULUAN
Asbabun Nuzul, Terkadang
banyak ayat yang turun, sedang sebabnya hanya satu. dalam hal ini tidak ada
permasalahan yang cukup penting, karena itu banyak ayat yang turun didalam
berbagai surah berkenaan dengan satu peristiwa. Asbabun nuzul adakalanya
berupa kisah tentang peristiwa yang terjadi, atau berupa pertanyaan yang
disampaikan kepada rasulullah SAW untuk mengetahui hukm suatu
masalah, sehingga Qur'an pun turun sesudah terjadi peristiwa atau pertanyaan
tersebut. Asbabun nuzul mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan
menafsirkan ayat-ayat Al-Quran.
Al-Qur'an
diturunkan untuk memahamipetunjuk kepada manusia kearah tujuan yang terang dan
jalan yang lurus dengan menegakkan asas kehidupan yang didasarkan pada keimana
kepada allah SWT dan risalah-Nya, sebagian besar qur'an pada mulanya diturunkan
untuk tujuan menyaksikan banyak peristiwa sejarah, bahkan kadang terjadi
diantara mereka khusus yang memerlukan penjelasan hukum allah SWT.
RUMUSAN
MASALAH
- Apa pengertian dari Asbabun nuzul itu ?
- Bagaimanakah cara turunnya asbabun nuzul itu ?
- Apakah faedah (manfaat) dari mempelajari asbabun nuzul itu ?
TUJUAN
PENULISAN
Tujuan dari pembahasan makalah ini adalah agar kita bisa lebih mengenal tentang silsilah asbabun nuzul dan lebih memudahkan kita untuk mempelajari lebih jauh lagi sehingga dalam proses mempelajarinya kita tidak menemukan kesulitan.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. Pengertian asbabun nuzul
Asbabun
Nuzul
didefinisikan “sebagai suatu hal yang karenanya al-qur’an diturunkan untuk
menerangkan status hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa
maupun pertanyaan”, asbabun nuzul membahas kasus-kasus yang menjadi turunnya
beberapa ayat al-qur’an, macam-macamnya, sight (redaksi-redaksinya), tarjih
riwayat-riwayatnya dan faedah dalam mempelajarinya.
Untuk
menafsirkan qur’an ilmu asbabun nuzul sangat diperlukan sekali, sehingga ada
pihak yang mengkhususkan diri dalam pembahasan dalam bidang ini, yaitu yang
terkenal diantaranya ialah Ali bin madani, guru bukhari, al-wahidi , al-ja’bar
, yang meringkaskan kitab al-wahidi dengan menghilangkan isnad-isnadnya, tanpa
menambahkan sesuatu, syikhul islam ibn hajar yang mengarang satu kitab mengenai
asbabun nuzul.
Pedoman dasar para ulama’ dalam mengetahui asbabun nuzul ialah riwayat shahih yang berasal dari rasulullah atau dari sahabat. Itu disebabkan pembaritahuan seorang sahabat mengenai asbabun nuzul, al-wahidi mengatakan: “ tidak halal berpendapat mengenai asbabun nuzul kitab, kecuali dengan berdasarkan pada riwayat atau mendengar langsung dari orang-orang yang menyaksikan turunnya. Mengetahui sebab-sebabnya dan membahas tentang pengertian secara bersungguh-sungguh dalam mencarinya ”.
Para ulama’ salaf terdahulu untuk mengemukakan sesuatu mengenai asbabun nuzul mereka amat berhati-hati, tanpa memiliki pengetahuan yang jelas mereka tidak berani untuk menafsirkan suatu ayat yang telah diturunkan. Muhammad bin sirin mengatakan: ketika aku tanyakan kepada ‘ubaidah mengetahui satu ayat qur’an, dijawab: bertaqwalah kapada allah dan berkatalah yang benar. Orang-oarang yang mengetahui mengenai apa qur’an itu diturunkan telah meninggal.
Maksudnya: para sahabat, apabila seorang ulama semacam ibn sirin, yang termasuk tokoh tabi’in terkemuka sudah demikian berhati-hati dan cermat mengenai riwayat dan kata-kata yang menentukan, maka hal itu menunjukkan bahwa seseorang harus mengetahui benar-benar asbabun nuzul. Oleh sebab itu yang dapat dijadikan pegangan dalam asbabun nuzul adalah riwayat ucapan-ucapan sahabat yang bentuknya seperti musnad, yang secara pasti menunjukkan asbabun nuzul.
Al-wahidi telah menentang ulama-ulama zamannya atas kecerobohan mereka terhadap riwayat asbabun nuzul, bahkan dia (Al-wahidi ) menuduh mereka pendusta dan mengingatkan mereka akan ancaman berat, dengan mengatakan: “ sekarang, setiap orang suka mangada-ada dan berbuat dusta; ia menempatkan kedudukannya dalam kebodohan, tanpa memikirkan ancaman berat bagi orang yang tidak mengetahui sebab turunnya ayat ”.
B. Pedoman mengetahui asbabun nuzul
Aisyah pernah mendengar ketika khaulah binti sa’labah mempertanyakan suatu hal kepada nabi bahwasannya dia dikenakan zihar. Oleh suaminya aus bin samit katanya: “ Rasulullah, suamiku telah menghabiskan masa mudaku dan sudah beberapa kali aku mengandung karenanya, sekarang setelah aku menjadi tua dan tidak beranak lagi ia menjatuhkan zihar kepadaku”. Ya allah sesunguhnya aku mengadu kepadamu, aisyah berkata: tiba-tiba jibril turun membawa ayat-ayat ini; sesungguhnya allah telah mendengar perkataan perempuan yang mengadu kepadamu tentang suaminya, yakni aus bin samit.
“Hal ini tidak berarti sebagai acuan bagi setiap orang harus mencari sebab turun setiap ayat”, karena tidak semua ayat qur’an diturunkan sebab timbul suatu peristiwa dalam kejadian, atau karena suatu pertanyaan. Tetapi ada diantara ayat qur’an yang diturunkan sebagai permulaan tanpa sebab, mengenai akidah iman, kewajiban islam dan syariat allah dalam kehidupan pribadi dan social.
Definisi
asbabun nuzul yang dikemukakan pada pembagian ayat-ayat al-qur’an terhadap dua
kelompok: Pertama, kelompok yang turun tanpa sebab, dan kedua, adalah kelompok
yang turun dengan sebab tertentu. Dengan demikian dapat diketahui bahwa tidak
semua ayat menyangkut keimanan, kewajiban dari syariat agama turun tanpa
asbabun nuzul.
Sahabat ali ibn mas’ud dan lainnya, tentu tidak satu ayatpun diturunkan kecuali salah seorang mereka mengetahui tentang apa ayat itu diturunkan seharusnya tidak dipahami melalui beberapa kemungkinan; Pertama, dengan pernyataan itu mereka bermaksud mengungkapkan betapa kuatnya perhatian mereka terhadap al-qur’an dan mengikuti setiap keadaan yang berhubungan dengannya. Kedua, mereka berbaik sangka dengan segala apa yang mereka dengar dan saksikan pada masa rasulullah dan mengizinkan agar orang mengambil apa yang mereka ketahui sehingga tidak akan lenyap dengan berakhirnya hidup mereka, bagaimanapun suatu hal yang logis bahwa tidak mungkin semua asbabun nuzul dari semua ayat yang mempunyai sebab al-nuzul bisa mereka saksikan. Ketiga, para periwayat menambah dalam periwatnya dan membangsakannya kepada sahabat.
Intensitas
para sahabat mempunyai semangat yang tinggi untuk mengikuti perjalanan turunnya
wahyu, mereka bukan saja berupaya menghafal ayat-ayat al-qur’an dan hal-hal
yang berhubungan serta mereka juga melestarikan sunah nabi, sejalan dengan itu
al-hakim menjelaskan dalam ilmu hadist bahwa seorang sahabat yang
menyaksikan masa wahyu dan al-qu’an diturunkan tentang suatu ( kejadian ) maka
hadist itu dipandang hadist musnad, Ibnu al-shalah dan lainnya juga sejalan
dengan pandangan ini.
Asbabun Nuzul dengan hadist mursal, yaitu hadist yang gugur dari sanadnya seoarng sahabat dan mata rantai periwayatnya hanya sampai kepada seorang tabi’in, maka riwayat ini tidak diterima kecuali sanadnya shahih dan mengambil tafsirnya dari para sahabat, seperti mujahid, hikmah dan said bin jubair. para ulama menetapkan bahwa tidak ada jalan untuk mengetahui asbabun nuzul kecuali melalui riwayat yang shahih. Mereka tidak dapat menerima hasil nalar dan ijtihad dalam masalah ini, namun tampaknya pandangan mereka tidak selamanya berlaku secara mutlak, tidak jarang pandangan terhadap riwayat-riwayat asbabun nuzul bagi ayat tertentu berbeda-beda yang kadang-kadang memerlukan Tarjih ( mengambil riwayat yang lebih kuat ) untuk melakukan tarjih diperlukan analisis dan ijtihad.
C.
Macam-macam asbabun nuzul
Dari segi jumlah sebab dan ayat yang turun, asbabun nuzul dapat dibagi kepada ta’addud al-asbab wa al-nazil wahid ( sebab turunnya lebih dari satu dan ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun satu ) dan ta’addud al-nazil wa al-sabab wahid (ini persoalan yang terkandung dalam ayat atau kelompok ayat yang turun lebih dari satu sedang sebab turunnya satu ). sebab turun ayat disebut ta’addud karena wahid atau tunggal bila riwayatnya hanya satu, sebaliknya apabila satu ayat atau sekelompok ayat yang turun disebut ta’addud al-nazil.
Jika ditemukan dua riwayat atau lebih tentang sebab turun ayat-ayat dan masing-masing menyebutkan suatu sebab yang jelas dan berbeda dari yang disebutkan lawannya, maka riwayat ini harus diteliti dan dianalisis, permasalahannya ada empat bentuk: Pertama, salah satu dari keduanya shahih dan lainnya tidak. Kedua, keduanya shahih akan tetapi salah satunya mempunyai penguat ( Murajjih ) dan lainnya tidak. Ketiga, keduanya shahih dan keduanya sama-sama tidak mempunyai penguat ( Murajjih ). Akan tetapi, keduanya dapat diambil sekaligus. Keempat, keduanya shahih, tidak mempunyai penguat ( Murajjih ) dan tidak mungkin mengambil keduanya sekaligus.
D.
Pengetahuan tentang asbabun nuzul
Perlunya mengetahui asbabun nuzul, al-wahidi berkata:” tidak mungkin kita mengetahui penafsiran ayat al-qur’an tanpa mangetahui kisahnya dan sebab turunnya ayat adalah jalan yang kuat dalam memahami makna al-qur’an”. Ibnu taimiyah berkata: mengetahui sebab turun ayat membantu untuk memahami ayat al-qur’an. Sebab pengetahuan tentang “sebab” akan membawa kepada pengetahuan tentang yang disebabkan (akibat).
Namum
sebagaimana telah diterangkan sebelumnya tidak semua al-qur’an harus mempunyai
sebab turun, ayat-ayat yang mempunyai sebab turun juga tidak semuanya harus
diketahui sehingga, tanpa mengetahuinya ayat tersebut bisa dipahami, ahmad adil
kamal menjelaskan bahwa turunnya ayat-ayat al-qur’an melalui tiga cara:
- Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi.
- Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
- Ketiga ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua kelmpok;
- Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
- Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).
Kebanyakan
ayat-ayat kisah turun tanpa sebab yang khusus, namun ini tidak benar bahwa
semua ayat-ayat kisah tidak perlu mengetahui sebab turunnya, bagaimanpun
sebagian kisah al-qur’an tidak dapat dipahami tanpa pengetahuan tentang sebab
turunnya.
E. Faedah asbabun nuzul
- Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui al-qur’an.
- Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya.
- Dapat menolak dugaan adanya Hasr ( pembatasan ).
- Dapat mengkhususkan (Takhsis) hokum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
- Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hokum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya ( yang mengkhususkannya ).
- Diketahui ayat tertetu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah.
- Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. Kesimpulan
Seteleh mempelajari dan melihat pembahasan yang telah dijabarkan panjang lebar diatas, dapat kami simpulkan bahwasannya:
1. Asbabun nuzul didefinisikan
“
sebagai suatu hal yang karenanya al-qur’an diturunkan untuk menerangkan status
hukumnya, pada masa hal itu terjadi, baik berupa peristiwa maupun pertanyaan”,
serta memiliki faedah didalamnya.
2.
Cara turunnya Asbabun Nuzul itu:
- Pertama ayat-ayat turun sebagai reaksi terhadap pertanyaan yang dikemukakan kepada nabi.
- Kedua ayat-ayat turun sebagai permulaan tanpa didahului oleh peristiwa atau pertanyaan.
Ketiga
ayat-ayat yang mempunyai sebab turun itu terbagi menjadi dua kelmpok;
- Ayat-ayat yang sebab turunnya harus diketahui ( hukum ) karena asbabun nuzulnya harus diketahui agar penetapan hukumnya tidak menjadi keliru.
- Ayat-ayat yang sebab turunnya tidak harus diketahui, ( ayat yang menyangkut kisah dalam al-qur’an).
3.
Faedah asbabun nuzul
- Membawa kepada pengetahuan tentang rahasia dan tujuan allah secara khusus mensyari’atkan agama-Nya melalui al-qur’an.
- Membantu dalam memahami ayat dan menghindarkan kesulitannya
- Dapat menolak dugaan adanya Hasr ( pembatasan ).
- Dapat mengkhususkan (Takhsis) hokum pada sebab menurut ulama yang memandang bahwa yang mesti diperhatikan adalah kekhususan sebab dan bukan keumuman lafal.
- Diketahui pula bahwa sebab turun ayat tidak pernah keluar dari hokum yang terkandung dalam ayat tersebut sekalipun datang mukhasisnya ( yang mengkhususkannya ).
- Diketahui ayat tertetu turun padanya secara tepat sehingga tidak terjadi kesamaran bisa membawa kepada penuduhan terhadap orang yang tidak bersalah dan pembebasan bagi orang yang tidak bersalah.
- Akan mempermudah orang menghafal ayat-ayat al-qur’an serta memperkuat keberadaan wahyu dalam ingatan orang yang mendengarnya jika mengetahui sebab turunnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahid, Ramli.1994.ulumul qur’an.Jakarta:Rajawali
Al-khattan, Manna’ khalil.2001.Studi ilmu-ilmu qur’an.Bogor:PT. Pustaka litera antar nusa
Syadali, Ahmad.1997.Ulumul qur’an I.Bandung:CV. Pustaka Setia
Thamrin, Husni.1982.Muhimmah ulumul qur’an.Semarang:Bumi Aksara
Zuhdi, Masfuk.1993.Pengantar ulumul qur’an.Surabaya:Bina Ilmu
Al-Qur’an bukanlah merupakan sebuah buku dalam pengertian
umum, karena ia tidak pernah diformulasikan, tetapi diwahyukan secara
berangsur-angsur kepada Nabi Muhammad SAW sesuai dengan situasi yang
menuntutnya. Al-Qur’an sendiri sangat menyadari kenyataan ini sebagai sesuatu
yang akan menimbulkan keusilan di kalangan pembantahnya. Seperti yang diyakini
sampai sekarang, pewahyuan Al-Qur’an secara total dan secara sekaligus itu
tidak mungkin karena Al-Qur’an diturunkan sebagai petunjuk bagi kaum muslimin
secara berangsur-angsur sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang ada.
A.PENGERTIAN ASBAB AN-NUZUL
Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi, asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu dapat disebut asbab an-nuzul, dalam pemakaiannya ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an, seperti halnya asbab al-wurud secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya Hadist.
Banyak pengertian terminologi yang dirumuskan oleh para ulama, diantaranya:
1.Menurut Az-Zarqani:
“Asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2.Ash-Shabuni:
“Asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.
3.Shubhi Shalih:
“Asbab an-nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.
4.Mana’ Al-Qaththan:
“Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”.
Bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an itu sangat beragam, diantaranya berupa konflik sosial, seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aus dan suku Khazraj; kesalahan besar seperti kasus salah seorang sahabat yang mengimani shalat dalam keadaan mabuk, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat kepada Nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang atau yang akan terjadi.
B.URGENSI DAN KEGUNAAN ASBAB AN-NUZUL
Az-Zarqani dan As-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab an-nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Qur’an dengan meletakkannya dalam konteks historis itu sama dengan membatasi pesan-pesannya pada ruang dan waktu tertentu. Namun, keberatan seperti ini tidaklah berdasar karena tidak mungkin menguniversalkan pesan AL-Qur’an di luar masa dan tempat pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadap makna Al-Qur’an dalam konteks kesejarahannya.
Urgensi pengetahuan asbab an-nuzul dalam memahami Al-Qur’an yang diperlihatkan oleh para ulama salaf di atas ternyata mendapat dukungan para ulama khalaf. Menarik untuk dikaji adalah pendapat Fazlur Rahman yang menggambarkan Al-Qur’an sebagai puncak dari sebuah gunung es. Sembilan per sepuluh dari bagiannya terendam di bawah perairan sejarah dan hanya sepersepuluhnya yang dapat dilihat. Ia lebih lanjut menegaskan bahwa sebagian besar ayat Al-Qur’an sebenarnya mensyaratkan perlunya pemahaman terhadap situasi-situasi historis khusus, yang memperoleh solusi, komentar dan tanggapan dari Al-Qur’an. Uraian Rahman di atas secara eksplisit mengisyaratkan asbab an-nuzul dalam memahami Al-Qur’an.
A.PENGERTIAN ASBAB AN-NUZUL
Ungkapan asbab an-nuzul merupakan bentuk idhafah dari kata “asbab” dan “nuzul”. Secara etimologi, asbab an-nuzul adalah sebab-sebab yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu. Meskipun segala fenomena yang melatarbelakangi terjadinya sesuatu dapat disebut asbab an-nuzul, dalam pemakaiannya ungkapan asbab an-nuzul khusus dipergunakan untuk menyatakan sebab-sebab yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an, seperti halnya asbab al-wurud secara khusus digunakan bagi sebab-sebab terjadinya Hadist.
Banyak pengertian terminologi yang dirumuskan oleh para ulama, diantaranya:
1.Menurut Az-Zarqani:
“Asbab an-nuzul adalah hal khusus atau sesuatu yang terjadi serta hubungan dengan turunnya ayat Al-Qur’an yang berfungsi sebagai penjelas hukum pada saat peristiwa itu terjadi”.
2.Ash-Shabuni:
“Asbab an-nuzul adalah peristiwa atau kejadian yang menyebabkan turunnya satu atau beberapa ayat mulia yang berhubungan dengan peristiwa dan kejadian tersebut, baik berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi atau kejadian yang berkaitan dengan urusan agama”.
3.Shubhi Shalih:
“Asbab an-nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya satu atau beberapa ayat Al-Qur’an yang terkadang menyiratkan suatu peristiwa, sebagai respon atasnya atau sebagai penjelas terhadap hukum-hukum ketika peristiwa itu terjadi”.
4.Mana’ Al-Qaththan:
“Asbab an-nuzul adalah peristiwa yang menyebabkan turunnya Al-Qur’an, berkenaan dengannya waktu peristiwa itu terjadi, baik berupa satu kejadian atau berupa pertanyaan yang diajukan kepada Nabi”.
Bentuk-bentuk peristiwa yang melatarbelakangi turunnya Al-Qur’an itu sangat beragam, diantaranya berupa konflik sosial, seperti ketegangan yang terjadi antara suku Aus dan suku Khazraj; kesalahan besar seperti kasus salah seorang sahabat yang mengimani shalat dalam keadaan mabuk, dan pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh salah seorang sahabat kepada Nabi, baik berkaitan dengan sesuatu yang telah lewat, sedang atau yang akan terjadi.
B.URGENSI DAN KEGUNAAN ASBAB AN-NUZUL
Az-Zarqani dan As-Suyuthi mensinyalir adanya kalangan yang berpendapat bahwa mengetahui asbab an-nuzul merupakan hal yang sia-sia dalam memahami Al-Qur’an. Mereka beranggapan bahwa mencoba memahami Al-Qur’an dengan meletakkannya dalam konteks historis itu sama dengan membatasi pesan-pesannya pada ruang dan waktu tertentu. Namun, keberatan seperti ini tidaklah berdasar karena tidak mungkin menguniversalkan pesan AL-Qur’an di luar masa dan tempat pewahyuan, kecuali melalui pemahaman yang semestinya terhadap makna Al-Qur’an dalam konteks kesejarahannya.
Urgensi pengetahuan asbab an-nuzul dalam memahami Al-Qur’an yang diperlihatkan oleh para ulama salaf di atas ternyata mendapat dukungan para ulama khalaf. Menarik untuk dikaji adalah pendapat Fazlur Rahman yang menggambarkan Al-Qur’an sebagai puncak dari sebuah gunung es. Sembilan per sepuluh dari bagiannya terendam di bawah perairan sejarah dan hanya sepersepuluhnya yang dapat dilihat. Ia lebih lanjut menegaskan bahwa sebagian besar ayat Al-Qur’an sebenarnya mensyaratkan perlunya pemahaman terhadap situasi-situasi historis khusus, yang memperoleh solusi, komentar dan tanggapan dari Al-Qur’an. Uraian Rahman di atas secara eksplisit mengisyaratkan asbab an-nuzul dalam memahami Al-Qur’an.
Minggu, 5 Agustus 2007 13:06:24 WIB
SURAT-SURAT MAKKIYAH DAN MADANIYAH
YYYYYYYYYYYYYYYYYY
Oleh
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
Al-Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam secara
berangsur-angsur selama dua puluh tiga tahun, sebagian besar waktu Rasulullah
dihabiskan di Makkah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman.
“Artinya : Dan Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar
kamu membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian
demi bagian” [Al-Israa : 106]
Oleh karena itu para ulama rahimahullahu membagi Al-Qur’an menjadi dua bagian :
Makkiyah dan Madaniyah.
Makkiyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhamamd Shallallahu ‘alaihi
wa sallam sebelum berhijrah ke Madinah.
Madaniyah adalah wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wa sallam setelah berhijrah ke Madinah.
Dengan dasar ini, maka firman Allah Subhanahu wa Ta’ala.
“Artinya : Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah
Ku-cukupkan kepadamu ni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama
bagimu. Maka barangsiapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa,
sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” [Al-Ma’idah : 3]
Termasuk ayat Madaniyah walaupun diturunkan kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa
sallam pada haji Wada’ di Arafah.
Dalam kitab Shahih Bukhari [1] diriwayatkan dari Umar Radhiyallahu ‘anhu
bahwasanya dia mengatakan : “Kami tahu hari itu dan tempat wahyu tersebut turun
kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Wahyu tersebut turun sementara
Rasulullah sedang berdiri berkhutbah hari Jum’at di padang Arafah”.
PERBEDAAN ANTARA AYAT-AYAT MAKKIYAH DAN AYAT-AYAT MADANIYAH DILIHAT DARI
KONTEKS KALIMAT DAN KANDUNGAN
[a]. Perbedaan Pada Konteks Kalimat.
1. Kebanyakan ayat-ayat Makiyyah memakai konteks kalimat tegas dan lugas karena
kebanyakan obyek yang didakwahi menolak dan berpaling, maka hanya cocok
mempergunakan konteks kalimat yang tegas. Baca surat Al-Muddatstsir dan surat
Al-Qamar.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan mempergunakan konteks kalimat yang
lunak karena kebanyakan obyek yang didakwahi menerima dan taat. Baca surat
Al-Maa’idah.
2. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah adalah ayat-ayat pendek dan argumentatif,
karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari, sehingga konteks ayatpun
mengikuti kondisi yang berlaku. Baca surat Ath-Thuur.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan adalah ayat-ayat pendek, penjelasan
tentang hukum-hukum dan tidak argumentatif, karena disesuaikan dengan kondisi
obyek yang didakwahi. Baca ayat tentang hutang-piutang dalam surat Al-Baqarah.
[b]. Perbedaan Pada Materi Pembahasan
1. Kebanyakan ayat-ayat Makkiyah berisikan penetapan tauhid dan aqidah yang
benar, khususnya yang berkaitan dengan Tauhid Uluhiyah dan iman kepada hari
kebangkitan ; karena kebanyakan obyek yang didakwahi mengingkari hal itu.
Sedangkan ayat-ayat Madaniyah kebanyakan berisikan perincian masalah ibadah dan
muamalah, karena obyek yang didakwahi sudah memiliki Tauhid dan aqidah yang
benar sehingga mereka membutuhkan perincian ibadah dan muamalah.
2. Penjelasan secara rinci tentang jihad berserta hukum-hukumnya dan kaum
munafik beserta segala permasalahannya karena memang kondisinya menuntut
demikian. Hal itu ketika disyariatkannya jihad dan timbulnya kemunafikan,
berbeda halnya dengan ayatayat Makkiyah.
MANFAAT MENGETAHUI PEMBAGIAN MAKKIYAH DAN MADANIYAH
Pengetahuan tentang Makkiyah dan Madaniyah adalah bagian dari ilmu-ilmu
Al-Qur’an yang sangat penting. Hal itu karena pada pengetahuan tersebut
memiliki beberapa manfaat, di antaranya.
1. Nampak jelas sastra Al-Qur’an pada puncak keindahannya, yaitu ketika setiap
kaum diajak berdialog yang sesuai dengan keadaan obyek yang didakwahi ; dari
ketegasan, kelugasan, kelunakan dan kemudahan.
2. Nampak jelas puncak tertinggi dari hikmah pensyariatan diturunkannya secara
berangsur-angsur sesuai dengan prioritas terpenting kondisi obyek yang di
dakwahi serta kesiapan mereka dalam menerima dan taat.
3. Pendidikan dan pengajaran bagi para muballigh serta pengarahan mereka untuk
mengikuti kandungan dan konteks Al-Qur’an dalam berdakwah, yaitu dengan
mendahulukan yang terpenting di antara yang penting serta menggunakan ketegasan
dan kelunakan pada tempatnya masing-masing
4. Membedakan antara nasikh dan mansukh ketika terdapat dua buah ayat Makkiyah
dan Madaniyah, maka lengkaplah syarat-syarat nasakh karena ayat Madaniyah
adalah sebagai nasikh (penghapus) ayat Makkiyah disebabkan ayat Madaniyah turun
setelah ayat Makkiyah.
[Disalin dari kitab Ushuulun Fie At-Tafsir edisi Indonesia Belajar Mudah Ilmu
Tafsir oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Penerbit Pustaka As-Sunnah,
Penerjemah Farid Qurusy]
__________
Foote Note
[1]. Diriwayatkan oleh Bukhari, Kitab Al-Iman, Bab ; Ziyaadatul Iman Wa
Nuqshaanuhu (Bertambah dan berkurangnya keimanan), hadits nomor 45, Muslim,
Kitab At-Tafsir, Bab Fii Tafsiri Aayaatin Mutafarriqah, hadits nomor 3015Apa
Itu Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyah?
Posted
on 29/11/2010 by Fadhl
Ihsan| Tinggalkan komentar
Oleh:
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullaahu
Al-Qur’an
turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam secara berangsur-angsur dalam
jangka waktu dua puluh tiga tahun dan sebagian besar diterima oleh Rasul
shallallaahu ‘alaihi wa sallam di Mekah. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:
وَقُرْءَانًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ
تَنْزِيْلاً
“Dan
Al-Qur’an itu telah Kami turunkan secara berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
Oleh
karena itu, para ulama rahimahumullaahu membagi Al-Qur’an menjadi dua:
1.
Al-Makiyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
sebelum hijrah ke Madinah.
2.
Al-Madaniyah: ayat yang diturunkan kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam
setelah hijrah ke Madinah.
Berdasarkan
hal tersebut maka firman Allah ‘Azza wa Jalla:
الْيَوْمَ
أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِيْنَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِيْ
وَرَضِيْتُ لَكُمُ الإِسْلاَمَ دِيْنًا
“Pada
hari ini telah Ku-sempurnakan untukmu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu
nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agama bagimu.” (Al-Maa’idah: 3),
termasuk ayat Madaniyah walaupun turun kepada Nabi shallallaahu ‘alaihi wa
sallam pada haji wada’ di Arafah.
Disebutkan
dalam Shahih Al-Bukhari dari ‘Umar radhiyallaahu ‘anhu bahwa dia berkata:
Sungguh kami mengetahui hari dan tempat turunnya ayat tersebut kepada Nabi
shallallaahu ‘alaihi wa sallam yaitu saat beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam
berada di Arafah pada hari Jum’at.
Perbedaan
Surat Makiyah dan Madaniyah dari Sisi Konteks Kalimat dan Tema
•
Perbedaan dari segi konteks kalimat:
-
Sebagian besar surat Makiyah mempunyai cara penyampaian yang keras dalam
konteks pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas adalah
pembangkang lagi sombong dan hal tersebut sangat pantas bagi mereka. Bacalah
surat Al-Muddatstsir dan Al-Qamar.
Sedangkan
sebagian besar surat Madaniyah mempunyai penyampaian lembut dalam konteks
pembicaraan karena ditujukan kepada orang-orang yang mayoritas menerima dakwah.
Bacalah surat Al-Ma’idah!
-
Sebagian besar surat Makiyah pendek dan di dalamnya banyak terjadi perdebatan
(antara para Rasul dengan kaumnya), karena kebanyakan ditujukan kepada
orang-orang yang memusuhi dan menentang, sehingga konteks kalimat yang
digunakan disesuaikan dengan keadaan mereka. Baca surat Ath-Thur!
Adapun
surat Madaniyah kebanyakan panjang dan berisi tentang hukum-hukum tanpa ada
perdebatan karena keadaan mereka yang menerima. Baca ayat dain (ayat tentang
hutang) pada surat Al-Baqarah (ayat 282).
•
Perbedaan dari segi tema:
Sebagian
besar surat Makiyah bertemakan pengokohan tauhid dan aqidah yang benar,
khususnya berkaitan dengan tauhid uluhiyah dan penetapan iman kepada Hari
Kebangkitan karena kebanyakan yang diajak bicara mengingkari hal itu.
Sedangkan
sebagian besar ayat Madaniyah berisi perincian ibadah-ibadah dan mu’amalah
karena keadaan manusia waktu itu jiwanya telah kokoh dengan tauhid dan aqidah
yang benar, sehingga membutuhkan perincian tentang berbagai ibadah dan
mu’amalah.
Dalam
ayat Madaniyah banyak disebutkan tentang jihad, hukum-hukumnya dan keadaan
orang-orang munafiq karena keadaan yang menuntut demikian dimana pada masa
tersebut telah disyari’atkan jihad dan mulai bermunculan orang-orang munafiq.
Berbeda dengan isi ayat Makiyah.
Beberapa
Faedah Mengetahui Surat Madaniyyah dan Makkiyyah
Mengetahui
surat Madaniyah dan Makiyah merupakan salah satu bidang ilmu Al-Qur’an yang
penting karena di dalamnya terdapat beberapa manfaat:
-
Bukti ketinggian bahasa Al-Qur’an. Di dalam Al-Qur’an Allah ‘Azza wa Jalla
mengajak bicara setiap kaum sesuai keadaan mereka baik dengan penyampaian yang
keras maupun lembut.
-
Tampaknya hikmah pembuatan syari’at ini. Hal tersebut sangat nyata dimana
Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur dan bertahap sesuai keadaan umat pada
masa itu dan kesiapan mereka di dalam menerima dan melaksanakan syari’at yang
diturunkan.
-
Pendidikan terhadap para da’i di jalan Allah ‘Azza wa Jalla dan pengarahan bagi
mereka agar mengikuti metode Al-Qur’an dalam tata cara penyampaian dan
pemilihan tema yakni memulai dari perkara yang paling penting serta menggunakan
kekerasan dan kelembutan sesuai tempatnya.
-
Pembeda antara nasikh (hukum yang menghapus) dengan mansukh (hukum yang
dihapus). Seandainya terdapat dua ayat yaitu Madaniyah dan Makiyah yang
keduanya memenuhi syarat-syarat naskh (penghapusan) maka ayat Madaniyah
tersebut menjadi nasikh bagi ayat Makiyah karena ayat Madaniyah datang
belakangan setelah ayat Makiyah.
Hikmah
Turunnya Al-Qur’an secara Berangsur-angsur
Telah
jelas dari pembagian Al-Qur’an menjadi ayat-ayat Makiyah dan Madaniyah
menunjukkan bahwa Al-Qur’an turun secara berangsur-angsur. Turunnya Al-Qur’an
dengan cara tersebut memiliki hikmah yang banyak, di antaranya:
1.
Pengokohan hati Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, berdasarkan firman Allah
‘Azza wa Jalla:
وَقَالَ
الَّذِيْنَ كَفَرُوا لَوْلاَ نُزِّلَ عَلَيْهِ الْقُرْءَانُ جُمْلَةً
وَاحِدَةً كَذَلِكَ لِنُثَبِّتَ بِهِ فُؤَادَكَ وَرَتَّلْنَاهُ
تَرْتِيْلاً. وَلاَ يَأْتُوْنَكَ بِمَثَلٍ إِلاَّ جِئْنَاكَ بِالْحَقِّ
وَأَحْسَنَ تَفْسِيْرًا
“Berkatalah
orang-orang yang kafir: ‘Mengapa Al-Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya
sekali turun saja?’, demikianlah (yaitu demikianlah Kami turunkan secara
berangsur-angsur) supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya
secara tartil. Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu
yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling
baik penjelasannya.” (QS. Al-Furqaan: 32-33)
2.
Memberi kemudahan bagi manusia untuk menghafal, memahami serta mengamalkan
serta mengamalkannya karena Al-Qur’an dibacakan kepada mereka secara bertahap.
Berdasarkan firman Allah ‘Azza wa Jalla:
وَقُرْءَانًا
فَرَقْنَاهُ لِتَقْرَأَهُ عَلَى النَّاسِ عَلَى مُكْثٍ وَنَزَّلْنَاهُ
تَنْزِيْلاً
“Dan
Al-Qur’an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian.” (QS. Al-Israa’: 106)
3.
Memberikan semangat untuk menerima dan melaksanakan apa yang telah diturunkan
di dalam Al-Qur’an karena manusia rindu dan mengharapkan turunnya ayat,
terlebih lagi ketika mereka sangat membutuhkannya. Seperti dalam ayat-ayat Ifk
dan Li’an.
4.
Penetapan syari’at secara bertahap sampai kepada tingkatan yang sempurna.
Seperti yang terdapat dalam ayat khamar yang mana manusia pada masa itu hidup
dengan khamr dan terbiasa dengan hal tersebut, sehingga sulit jika mereka
diperintahkan secara spontan meninggalkannya secara total. Maka untuk pertama
kali turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla yang menerangkan keadaan mereka:
يَسْأَلُوْنَكَ
عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيْهِمَا إِثْمٌ كَبِيْرٌ وَمَنَافِعُ
لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَا أَكْبَرُ مِنْ نَّفْعِهِمَا
“Mereka
bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: ‘Pada keduanya itu
terdapat dosa besar dan berupa manfa’at bagi manusia, tetapi dosa keduanya
lebih besar dari manfaatnya.’” (QS. Al-Baqarah: 219)
Ayat
ini membentuk kesiapan jiwa-jiwa manusia untuk pada akhirnya mau menerima
pengharaman khamr, dimana akal menuntut untuk tidak membiasakan diri dengan
sesuatu yang dosanya lebih besar daripada manfaatnya.
Kemudian
yang kedua turun firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا لاَ تَقْرَبُوا الصَّلَوةَ وَأَنْتُمْ
سُكَارَى حَتَّى تَعْلَمُوا مَا تَقُوْلُوْنَ
“Hai
orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu dalam keadaan
mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan.” (QS. An-Nisaa’: 43)
Dalam
ayat tersebut terdapat perintah untuk untuk membiasakan meninggalkan khamar
pada keadaan-keadaan tertentu yaitu waktu shalat.
Kemudian
tahap ketiga turunlah firman Allah ‘Azza wa Jalla:
يَا
أَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ
وَالأَنْصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَنِ
فَاجْتَنِبُوْهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُوْنَ. إِنَّمَا يُرِيْدُ الشَّيْطَانُ
أَنْ يُوْقِعَ بَيْنَكُمُ الْعَدَاوَةَ وَالْبَغْضَاءَ فِي الْخَمْرِ
وَالْمَيْسِرِ وَيَصُدَّكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللهِ وَعَنِ الصَّلَوةِ فَهَلْ
أَنْتُمْ مُّنْتَهُوْنَ. وَأَطِيْعُوا اللهَ وَأَطِيْعُوا الرَّسُوْلَ
وَاحْذَرُوا فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُوا أَنَّمَا عَلَى رَسُوْلِنَا
الْبَلاَغُ الْمُبِيْنُ
“Hai
orang-orang yang beriman, sesungguhnya meminum khamar, berjudi, beribadah
kepada berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk
perbuatan syaithan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat
keuntungan. Sesungguhnya syaithan itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan
dan kebencian di antara kamu lantaran (meminum) arak atau berjudi itu, dan
menghalangi kamu dari mengingat Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu
(dari mengerjakan pekerjaan itu). Dan taatlah kamu kepada Allah dan Rasul-Nya
dan berhati-hatilah. Jika kamu berpaling, maka ketahuilah sesungguhnya
kewajiban Rasul Kami, hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS.
Al-Maa’idah: 90-91)
Dalam
ayat di atas terdapat larangan meminum khamar pada semua keadaan, hal itu
sempurna setelah melalui tahap pembentukan kesiapan jiwa-jiwa manusia kemudian
diperintah untuk membiasakan diri meninggalkan khamar pada keadaan tertentu.
(Dinukil
dari “Bagaimana Kita Memahami Al-Qur’an” karya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih
Al-‘Utsaimin, penerjemah: Muhammad Qawwam, LC., Abu Luqman, penerbit: Cahaya
Tauhid Press Malang, cet. ke-1 Muharram 1427 H / Pebruari 2006 M, hal. 33-38)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar