Minggu, 20 Mei 2012

makalah nikah tentang khitbah


Bab I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Manusia diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh, berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri (gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu). Naluri ini merupakan dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang ‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’ sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.
Islam memandang ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh seorang muslim. Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan disyari’atkan  sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan agar waktu memesuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan serta kesadaran masing-masing pihak.
Isalam juga sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak kepadanya, diantaranya hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar hanya diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan si istri.
Allah SWT berfirman :
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D  
Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka secara spesipik dan operasionalnya permasalahan dirincikan sebagai berikut :
1.      Bagaimana pemahaman ikhwan dan akhwat mengenai khitbah?
2.      Bagaimana proses khitbah dan hal yang perlu dipahami?
3.      Bagaimana mahar dalam perkawinan?
C.    Tujuan
Berdasarkan perumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai adalah :
1.      Mengetahui pemahaman dalam khitbah.
2.      Mengetahui proses melakukan khitbah.
3.      Mengetahui mahar dalam perkawinan.




Bab II
KHITBAH
A.    Pengertian Khithbah
Dalam merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat mengetahui calon pendamping hidupnya.[1]
Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya).[2] Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Islam telah menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan pernikahan (An-Nabhaniy, 2001:146). Berkaitan dengan anjuran untuk menikah,Allah Swt, berfirman: (Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3) Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa Rasulullah Saw telah mengingatkan:‘Wahai para pemuda, siapa saja diantara kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia segera menikah, karena hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi perisai’.
Diantara peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut: ‘Abdurrahman Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf) berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR.Bukhari)
Abdurrahman Bin ‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligus menikahinya.
Menurut Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf atas kejadian ini. Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta seorang laki-laki agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at.[3] Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
‘Pernah ada seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun tertunduk” (HR.Bukhari)
Berdasarkan uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan untuk mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya terkait dengan tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.
B.     Proses Khitbah
Dalam beberapa dalil di atas telah diungkapkan tentang bagaimana proses khithbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat. Selain itu ada beberapa hal yang juga perlu dipahami ketika melakukan khitbah, antara lain:

a.       Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
Sebagian ulama berpendapat, diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya, tetapi ia tidak boleh melihat auratnya[4]. Sebagaimana Jabir menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: ‘Jika salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka hendaklah ia melihatnya. (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Dibolehkannya melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah, diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk menikahinya. Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat mengkhithbah.
Sebagian ulama lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak tangan, melainkan lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan merupakan anggota badan perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga perintah untuk melihat, dalam hadits tersebut tentu yang dimaksud bukan hanya wajah dan telapak tangan.[5]
b.      Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
 Seorang ikhwan tidak boleh mengkhithbah seorang akhwat yang masih berada dalam khithbah-an ikhwan lainnya, kecuali setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh ikhwan yang pertama atau karena alasan syar’i lainnya seperti meninggal dunia, dll. Hal ini didasarkan pada hadits Rasulullah Saw: Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain. Tidak halal seorang mukmin menawar diatas tawaran saudaranya dan meminang (seorang wanita) diatas pinangan saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu) sudah ditinggalkannya (HR. Muslim dan Ahmad).
c.       Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak
Khithbah An-Nabhaniy mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka dirinyalah yang berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak salah seorang walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin wanita yang bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah.[6]
Dalam hal ini, Rasulullah Saw bersabda: Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah diamnya (HR.Ibnu Abbas) Adapun Abu Hurayrah menuturkan hadits Rasulullah Saw sebagai berikut: Rasulullah Saw bersabda,’Seorang janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan seorang gadis tidak dinikahi kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu bertanya, ‘Wahai Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau menjawab,’Izinnya adalah diamnya’.
Hadits-hadits di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia berbalik pikiran atau ridha.
d.       Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring mereka pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti suami-istri asal tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol berduaan, dll.
Menurut MR Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah pernikahan, sehingga akad khitbah bukanlah akad pernikahan. Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian setelah akad khithbah dilangsungkan, maka status bagi keduanya adalah tetap orang asing (bukan mahram) antara satu dengan lainnya.
Kendati demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena, khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu sama lain dengan cara yang ma’ruf.
Berkaitan dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda: ‘Saling memberikan hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ (HR.Abu Hurayrah). Selain itu, Allah SWT juga telah memerintahkan kepada laki-laki dan perempuan untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya:
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah perkataan yang benar (QS. Al-Ahzab [33]:70)
Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka, Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (QS. An-Nur [24]:30-31)
C.    Kurun Waktu Dalam Menempuh Khithbah
Kurun waktu khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khithbah) hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah). Bagi seorang ikhwan yang telah mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang waktu yang harus ia lewati hingga ia dapat melangsungkan pernikahan dengannya.[7]
Berdasarkan peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yaitu antara Abdurrahman Bin ‘Auf terhadap Ummu Hakim Binti Qarizh, dimana Abdurahman Bin ‘Auf telah melakukan pengkhitbahan secara langsung kepada Ummu Hakim kemudian dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu itu. Terhadap kejadian ini Rasulullah tidak menyalahkan perbuatan Abdurahman Bin ‘Auf, yang berarti pula hal ini menunjukan persetujuan Beliau Saw.
Jadi, sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan pernikahan pasca dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu tahun setelahnya. Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara’ juga menganjurkan untuk menyegerakan suatu perbuatan kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah Saw telah mengingatkan:
Bersegeralah beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam yang gelap. (saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di sore harinya ia menjadi kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia menjual agamannya dengan harta dunia (HR.Muslim dan Abu Hurayrah)
Melaksanakan pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah disiapkan dan dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak mengabaikan kebutuhan materi) merupakan hal yang dianjurkan. Firman Allah Swt: Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur[24]:32).
Rasulullah Saw bersabda:
Wahai para pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka menikahlah (HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan, tergantung pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya) sehingga kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan waktu pelaksanaan pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang mendukung terlaksananya pernikahan tersebut.
Apabila rentang antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka harus tetap adanya upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan ketakawaan kepada Allah Swt. Karena dalam rentang ‘masa penantian’ tersebut sangat mungkin muncul godaan-godaan untuk terjerumus pada pelanggaran syari’at ataupun godaan untuk berpaling kepada seorang calon yang lain, dan sebagainya. Namun bagi seorang mukmin tentu harus mewaspadai hal ini, sehingga senantiasa diperlukan adanya upaya diantara keduanya untuk saling berkomunikasi dan mengingatkan pada ketakwaan, yaitu:
Barang siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh sekali-kali ia menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, sebab nanti yang ketiganya adalah syetan (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah; Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah [9]:71)
Keberlangsungan khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua pilihan yaitu berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan khitbah. Kedua hal ini merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi dan tujuan khithbah itu sendiri, sehingga jangan sampai dianggap sebagai ending of story yang harus dipaksakan. Karena pernikahan yang terpaksa hukumnya tidak sah, dan pembatalan khithbah tanpa alasan yang syar’i juga tidak diperkenankan.
D.    Pembatalan Khithbah
Dalam melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan cara yang ma’ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap calon pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah tersebut.
Pembatalan khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap hal ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi calon yang lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya (setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khithbahnya dengan seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti halnya dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi ketentuan syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal) seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup yang menyimpang dari mabda islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah.
Selain pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khithbah juga berlaku apabila adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang menimpa salah satu calon ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain atas dasar alasan-alasan yang syar’i, maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan, karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak yang dikhithbahnya.
Adapun berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/ hibah dan dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda tersebut tetap menjadi hak milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga tidak boleh meminta kembali sesuatu/ benda yang pernah diberikannya tersebut.
Rasulullah Saw pernah bersabda:

Tidak halal seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu, meminta kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya (HR. Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas)
Membatalkan pinangan adalah menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat perjanjian. Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, islam tidak menjatuhkan hukuman materiil, sekalipun perbuatan tersebut dipandang cela oleh sebagian orang.[8]
Mahar yang telah diberikan oleh peminang (untuk pernikahan nantinya) kepada pinangannya berhak diminta kembali bila akad pernikahannya tidak jadi (karena mahar itu hanya diberikan sebagai ganti dan imbalan dalam pernikahan). Selama akad pernikahan belum terjadi, maka pihak perempuan belum mempunyai hak untuk memanfaatkan mahar tersebut sekalipun telah ia dapatkan.
Adapun berbagai pemberian dan hadiah (selain mahar) maka hukumnya berbeda dengan hukum mahar, yaitu sebagai hibah. Secara syar’i, hibah tidak boleh diminta kembali, karena merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian atas sesuatu. Bila barang yang dihibahkan telah diterima dari si pemberi, maka bagi pihak penerima barang tersebut sudah menjadi kepemilikan bagi dirinya dan ia berhak untuk memanfaatkannya.
Iwan Januar[9] mengungkapkan bahwa sikap terbaik ketika seorang mukmin menghadapi kenyataan ini (pembatalan khithbah) adalah berserah diri kepada Allah Swt serta hanya memohon kebaikan kepada-Nya. Rasulullah Saw, bersabda:
Menakjubkan keadaan seorang mukmin! Sebab, segala keadaannya untuknya adalah baik, dan tidak mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika ia mendapat nikmat maka ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika ia menderita kesusahan ia bersabar, maka itupun baik baginya. (HR. Muslim).









Bab III
MAHAR DALAM PERKAWINAN
A.    Pengertian dan Hukum Mahar
Mahar secara etimologi artinya maskawin secara termiologi mahar ialah “pemberian wajib dari calon suaminya kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya”.[10] Atau, “suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami untuk calon istrinya, baik benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dsb)”.[11]
Isalam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan member hak kepadanya, diantaranya hak untuk menerima mahar (maskawin). Orang lain tidak boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha dan kerelaan si istri.
 Allah SWT berfirman:
(#qè?#uäur uä!$|¡ÏiY9$# £`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU 4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ öNä3s9 `tã &äóÓx« çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿƒÍ£D  
Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian yang wajib, tetapi apabila istri itu dengan sukarela menyerahkan kepada kamu, manakala pemberiannya itu dengan senang dan baik-baik.. (Q.S An-Nisa : 4)
Imam Syafi’i mengatakan bahwa mahar adalah suatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.[12]
Jika istri telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan sebagian maharnya boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri dalam memberikan maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal menerimanya.

Allah SWT berfirman :
÷bÎ)ur ãN?Šur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry šc%x6¨B 8l÷ry óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% Ÿxsù (#räè{ù's? çm÷ZÏB $º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/ $VJøOÎ)ur $YYÎ6B  
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? (Q.S An-Nisa’ 20).
Rosulullah SAW bersabda :


 Dari amir bin Rabi’ah: sesungguhnya seorang perempuan dari bani fazarah kawin dengan maskawin sepasang sandal. Rosulullah SAW bertanya : relakah engkau dengan maskawin sepasang sandal? Perempuan itu menjawab : ya, akhirnya Rosul meluluskannya.
Sabdanya lagi :

Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin cin-cin dari besi




B.     Syarat-Syarat Mahar  
Mahar yang diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a.       Harta/bendanya berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi mahar sedikit tapi bernilai maka tetap sah.
b.      Barang suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah, karena semua itu haram dan tidak berharga.
c.       Barangnya bukan barang ghasab. Ghasab artinya mengambil barang orang lain tanpa seizinnya, berniat untuk mengembalikannya kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah tetapi akadnya sah.
d.      Bukan barang yang tidak jelas keberadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[13]
C.    Kadar (Jumlah) Mahar
Mengenai besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas tertinggi. Kemudian mereka berselisih tentang batas terendahnya.
Imam Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian lain fuqaha berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat emas dinar murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang sebanding berat emas dan perak tersebut.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat lain ada yang mengatakan yang mengatakan empat puluh dirham.
 Pangkal silang pendapat ini kata Ibn Rusyd ada dua hal hal, yaitu:
1.      Ketidak jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit maupun banyak, seperti halnya dalm jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah yang sudah ada ketentuannya. Demikian itu karena ditinjau dari segi bahwa dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka perkawinan itu mirip dengan pertukaran tetapi ditinjau dari segi adanya larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka mahar itu mirip dengan ibadah.
2.      Adanya pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan mafhum hadits yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu sudah ada ketentuannya.
Mereka berpendapat bahwa sabda Nabi SAW, “carilah, walaupun hanya cicin besi”, merupakan dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karen memeng jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.[14]
D.    Memberi Mahar Dengan Kontan Dan Hutang
Pelaksanaan membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau hutang, apakah mau dibayar kontan sebagian dan hutang sebagian yang lain. Kalu memang demikian, maka disunnatkan membayar kontan sebagian, berdasarkan sabda Nabi SAW:


            Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabanya: saya tidak punya apa-apa. Maka sabdanya : dimanakah baju besi Huthamiyyahmu? Lalu diberikan barang itu kepada Fatimah.
Hadits di atas menunjukan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tinadakan yang lebih baik, dan secara hokum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian lebih dulu.
Dalam hal penundaan pembayaran mahar (dihutang) terdapat dua perbedaan di kalangan ahli fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan dengan cara di hutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar dimuka manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkan hanya untuk tenggang waktu terbatas yang telah ditetapkannya.
E.     Macam-Macam Mahar
Ulama fiqih sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil (sepadan).
a.       Mahar musamma
Mahar musamma yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.[15] Ulama fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan secara penuh apabila:
(1)   Telah bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah SWT berfirman:

Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka harta yang banyak, maka kamu jangan mengambil  kembali darinya barang sedikitpun.
(2)   Salah satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
Mahar musamma wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami lama. Akan tetapi, kalu istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar setengahnya, berdasrkan firman Allah SWT:
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s% br& £`èdq¡yJs? ôs%ur óOçFôÊtsù £`çlm; ZpŸÒƒÌsù ß#óÁÏYsù $tB ÷LäêôÊtsù  
Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu…
b.      Mahar Mitsil (Sepadan)
Mahar mitsil yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika terjadi pernikahan. Atau mahat yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan mengingat status social, kecantikan dan sebagainya.[16]
Bila terjadi demikian (mahar itu tidak disebut besarkadarnya pada saat sebelum atau ketika terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude). Apabila tidak ada, maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar mitsil juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
(1)   Apabila tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah kenudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
(2)   Jika mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Firman Allah SWT:

Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum menentukan maharnya…
Ayat ini menunjukan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal ini, maka istri berhak menerima mahar mitsil.
Bab IV
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Khithbah adalah menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Khitbah didalam bahasa Indonesia disebut peminangan berasal dari kata “pinang, meminang” (kata keerja). Menurut etimologi meminang atau melamar artinya (antara lain) meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut terminologi peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan perjodohan antara seorang pria dengan wanita. Atau seorang laki-laki meminta kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara yang umum berlaku ditengah-tengah masyarakat.
Proses khitbah dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat.
Hal yang perlu dipahami dalam khitbah diantaranya adalah:
1.      Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
2.      Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih Dikhithbah Seorang Ikhwan
3.      Seorang Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak
4.      Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
Mahar secara etimologi artinya maskawin secara termiologi mahar ialah “pemberian wajib dari calon suaminya kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya”. Atau, “suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami untuk calon istrinya, baik benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dsb)”. Isalam sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan member hak kepadanya, diantaranya hak untuk menerima mahar (maskawin).


[1] Syamsudin Ramdhan, 2004:49
[2] MR. Kurnia, 2005:19
[3] (Syamsudin Ramdhan, 2004:56).
[4] Syamsudin Ramdhan (2004:54)
[5] MR.Kurnia, 2005:23
[6] An-Nabhaniy (2001:161)
[7] Muhamad Thalib, 2002:69
[8] Muhammad Thalib (2002:76)
[9] Iwan Januar (2005:4)
[10] Slamet Abidin dan H. Aminudin, op. cit., h. 105.
[11] Lihat kamus Istilah fiqh. h. 184. Lihat pula Zakiah Daradjat, op. cit., h. 83
[12] Abdurrahman Al-Jaziriy, Al-Fiqh ‘ala Madzahib al-Arba’ah., juz 4, h. 94
[13] Abdurrahman Al-Jaziriy, op. cit., h. 103
[14] Ibn Rusyd, op. cit., h. 14-15
[15] Lihat kamus Istilah fiqh. h. 185
[16] Lihat kamus Istilah fiqh. h. 185

Tidak ada komentar:

Posting Komentar