Bab I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Manusia
diciptakan oleh Allah Swt sebagai makhluk yang paling mulia, ia bukanlah
sesosok makhluk yang sekedar memiliki jasad/organisme hidup, sehingga kehidupan
yang dijalaninya pun bukan sekedar untuk tujuan memperoleh makan, tumbuh,
berkembang-biak, lalu mati. Manusia diciptakan ke alam dunia ini disertai pula
dengan berbagai potensi kehidupan yang diberikan oleh-Nya. Berbagai potensi
kehidupan tersebut harus merupakan sesuatu yang disadari/difikirkan oleh
manusia. Diantara potensi kehidupan tersebut adalah berupa naluri-naluri
(gharaizh) yang diantaranya pula adalah naluri untuk melestarikan keturunan
ataupun tertarik kepada lawan jenis (gharizatu nawu). Naluri ini merupakan
dorongan yang muncul pada diri manusia ketika adanya stimulan dari luar. Sebagai
contoh, suatu saat seorang ikhwan pernah merasakan perasaan yang
‘berbunga-bunga tidak karuan’ ketika di suatu tempat bertemu dengan seorang
akhwat yang menurut penilaiannya, orang tersebut adalah sosok yang ‘special’
sehingga setiap kali berjumpa, memikirkan atau bahkan hanya sekedar mendengar
namanya saja, tiba-tiba jantung ini bisa berdebar cepat dan kedua bibirpun akan
menggeser menyimpul mesra. Kondisi ini tentunya juga dapat terjadi sebaliknya
antara seorang akhwat terhadap seorang ikhwan.
Islam memandang
ini sebagai hal yang fitrah (manusiawi) dan bukan hal yang tabu ataupun
terlarang. Oleh karenanya dalam rangka menempatkan manusia agar tetap pada
derajatnya sebagai makhluk yang mulia, maka Allah Swt menurunkan seperangkat
aturan kehidupan yang harus diambil dan dijalankan oleh umat manusia yaitu
Syari’at islam yang dibawa oleh Rasulullah Saw, termasuk di dalamnya tercakup
aturan untuk menyelesaikan masalah yang satu ini. Diantaranya adalah pengaturan
mengenai khitbah (meminang) sebagai aktivitas syar’i yang harus dipilih oleh
seorang muslim. Peminangan merupakan pendahuluan perkawinan disyari’atkan sebelum ada ikatan suami istri dengan tujuan
agar waktu memesuki perkawinan didasarkan kepada penelitian dan pengetahuan
serta kesadaran masing-masing pihak.
Isalam juga
sangat memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan memberi hak
kepadanya, diantaranya hak untuk menerima mahar (maskawin). Mahar hanya
diberikan oleh calon suami kepada calon istri, bukan kepada wanita lainnya atau
siapapun walaupun sangat dekat dengannya. Orang lain tidak boleh menjamah
apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali dengan ridha
dan kerelaan si istri.
Allah SWT
berfirman :
(#qè?#uäur
uä!$|¡ÏiY9$#
£`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU
4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ
öNä3s9
`tã &äóÓx«
çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D
Berikanlah
maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan
penuh kerelaan. Kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari
maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu
(sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan
latar belakang masalah diatas, maka secara spesipik dan operasionalnya
permasalahan dirincikan sebagai berikut :
1.
Bagaimana pemahaman ikhwan dan akhwat
mengenai khitbah?
2.
Bagaimana proses khitbah dan hal yang
perlu dipahami?
3. Bagaimana
mahar dalam perkawinan?
C.
Tujuan
Berdasarkan
perumusan masalah diatas, maka tujuan yang hendak dicapai adalah :
1.
Mengetahui pemahaman dalam khitbah.
2.
Mengetahui proses melakukan khitbah.
3.
Mengetahui mahar dalam perkawinan.
Bab II
KHITBAH
A.
Pengertian Khithbah
Dalam
merencanakan kehidupan berumah tangga, diantara langkah yang harus ditempuh
oleh seorang ikhwan adalah menetapkan seorang akhwat yang diinginkan untuk
menjadi calon istrinya. Secara syar’i ikhwan tersebut menjalaninya dengan
melakukan khithbah (peminangan) kepada akhwat yang dikehendakinya. Adapun salah
satu tujuan disyari’atkannya khithbah adalah agar masing-masing pihak dapat
mengetahui calon pendamping hidupnya.[1]
Sedangkan
menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily menjelaskan yang dimaksud Khithbah adalah
menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan
memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya).[2]
Selain itu Sayid Sabiq (ibid) juga menyatakan bahwa yang dikatakan seseorang
sedang mengkhitbah seorang perempuan berarti ia memintanya untuk berkeluarga
yaitu untuk dinikahi dengan cara-cara (wasilah) yang ma’ruf.
Islam telah
menganjurkan dan bahkan memerintahkan kaum muslimin untuk melangsungkan
pernikahan (An-Nabhaniy, 2001:146). Berkaitan dengan anjuran untuk
menikah,Allah Swt, berfirman: (Nikahilah oleh kalian perempuan-perempuan
yang kalian sukai (QS.An-Nisa [4]:3) Ibnu Mas’ud menuturkan bahwa
Rasulullah Saw telah mengingatkan:‘Wahai para pemuda, siapa saja diantara
kalian yang telah sanggup memikul beban. Hendaklah ia segera menikah, karena
hal itu dapat menundukan pandangan dan menjaga kehormatan. Sebaliknya siapa
saja yang belum mampu, hendaklah ia shaum karena hal itu dapat menjadi
perisai’.
Diantara
peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw, adalah yang dilakukan
oleh sahabat beliau, Abdurrahman Bin ‘Auf yang mengkhithbah Ummu Hakim Binti
Qarizh. Hadits riwayat Bukhari menjelaskannya sebagai berikut: ‘Abdurrahman
Bin ‘Auf berkata kepada Ummu Hakim Binti Qarizh:”Maukah kamu menyerahkan
urusanmu kepadaku?” Ia menjawab ”Baiklah!”, maka Ia (Abdurrahman Bin ‘Auf)
berkata: “Kalau begitu, baiklah kamu saya nikahi.” (HR.Bukhari)
Abdurrahman Bin
‘Auf dan Ummu Hakim keduanya merupakan sahabat Rasulullah Saw. Ketika itu Ummu
Hakim statusnya menjanda karena suaminya telah gugur dalam medan jihad fii
sabilillah, kemudian Abdurrahman Bin Auf (yang masih sepupunya) datang
kepadanya secara langsung untuk mengkhitbah sekaligus menikahinya.
Menurut
Muhammad Thalib (2002:25) kejadian ini menunjukan seorang laki-laki boleh
meminang secara langsung calon istrinya tanpa didampingi oleh orang tua atau
walinya dan Rasulullah Saw tidak menegur atau menyalahkan Abdurrahman Bin ‘Auf
atas kejadian ini. Selain itu, seorang wanita juga diperbolehkan untuk meminta
seorang laki-laki agar menjadi suaminya. Akan tetapi ia tidak boleh berkhalwat
atau melakukan hal-hal yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syari’at.[3]
Kebolehan hal ini didasarkan pada sebuah riwayat berikut:
‘Pernah ada
seorang wanita yang datang kepada Rasulullah Saw, seraya berkata ‘Wahai
Rasulullah aku datang untuk menyerahkan diriku kepada Engkau’. Rasulullah Saw
lalu melihatnya dengan menaikan dan menetapkan pandangannya. Ketika melihat
bahwa Rasulullah tidak memberikan keputusannya, maka wanita itupun tertunduk” (HR.Bukhari)
Berdasarkan
uraian di atas, maka dapat difahami bahwa khithbah merupakan jalan untuk
mengungkapkan maksud seorang ikhwan/akhwat kepada lawan jenisnya terkait dengan
tujuan membangun sebuah kehidupan berumah tangga, baik dilakukan secara
langsung (kepada calon) ataupun melalui perwakilan pihak lain.
B.
Proses Khitbah
Dalam beberapa
dalil di atas telah diungkapkan tentang bagaimana proses khithbah dapat
berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh seorang
ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian bisa juga
dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat. Selain
itu ada beberapa hal yang juga perlu dipahami ketika melakukan khitbah, antara
lain:
a.
Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
Sebagian ulama
berpendapat, diperbolehkan bagi pelamar untuk melihat wanita yang dilamarnya,
tetapi ia tidak boleh melihat auratnya[4].
Sebagaimana Jabir menuturkan bahwa Rasulullah Saw pernah bersabda: ‘Jika
salah seorang di antara kalian meminang seorang perempuan, sekiranya ia dapat
melihat sesuatu darinya yang mampu menambah keinginan untuk menikahinya, maka
hendaklah ia melihatnya. (HR. Abu Dawud dan Hakim).
Dibolehkannya
melihat perempuan yang dikhitbah ini sebenarnya membawa banyak hikmah,
diantaranya adalah dengan melihatnya akan lebih memantapkan hati untuk menikahinya.
Kebolehan melihat ini adalah kekhususan pada saat mengkhithbah.
Sebagian ulama
lagi membolehkan untuk melihat bukan hanya wajah dan telapak tangan, melainkan
lebih dari itu karena wajah dan telapak tangan merupakan anggota badan
perempuan yang terlihat sehari-hari. Sehingga perintah untuk melihat, dalam
hadits tersebut tentu yang dimaksud bukan hanya wajah dan telapak tangan.[5]
b.
Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih
Dikhithbah Seorang Ikhwan
Seorang ikhwan tidak boleh mengkhithbah
seorang akhwat yang masih berada dalam khithbah-an ikhwan lainnya, kecuali
setelah khithbah tersebut dilepaskan oleh ikhwan yang pertama atau karena
alasan syar’i lainnya seperti meninggal dunia, dll. Hal ini didasarkan pada
hadits Rasulullah Saw: Seorang mukmin adalah saudara bagi mukmin yang lain.
Tidak halal seorang mukmin menawar diatas tawaran saudaranya dan meminang
(seorang wanita) diatas pinangan saudaranya hingga nyata (bahwa pinangan itu)
sudah ditinggalkannya (HR. Muslim dan Ahmad).
c.
Seorang
Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak
Khithbah An-Nabhaniy
mengungkapkan bahwa jika seorang wanita telah dilamar, maka dirinyalah yang
berhak untuk menerima ataupun menolak calon suaminya, bukan hak salah seorang
walinya ataupun orang-orang yang akan mengawinkannya tanpa seizin wanita yang
bersangkutan, dan dia pun tidak boleh dihalang-halangi untuk menikah.[6]
Dalam hal ini,
Rasulullah Saw bersabda: Seorang janda lebih berhak atas dirinya daripada
walinya, sedangkan seorang gadis harus dimintai izinnya, dan izinnya adalah
diamnya (HR.Ibnu Abbas) Adapun Abu Hurayrah menuturkan
hadits Rasulullah Saw sebagai berikut: Rasulullah Saw bersabda,’Seorang
janda tidak dinikahi kecuali setelah dilamar, sedangkan seorang gadis tidak
dinikahi kecuali setelah diminta izinnya’ Para sahabat lalu bertanya, ‘Wahai
Rasulullah, bagaimana bentuk izinnya?’ Beliau menjawab,’Izinnya adalah
diamnya’.
Hadits-hadits
di atas seluruhnya menunjukan dengan jelas bahwa seorang wanita yang tidak
dimintai izinya ketika hendak dinikahkan (oleh orang tua/walinya) maka
pernikahannya dianggap tidak sempurna. Jika ia menolak pernikahannya itu atau
menikah secara terpaksa, berarti akad pernikahannya rusak, kecuali jika ia
berbalik pikiran atau ridha.
d.
Khitbah
Bukanlah Setengah Pernikahan
Kekeliruan yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat tentang khithbah sering menggiring mereka
pada anggapan bahwa pasangan laki-laki dan perempuan yang telah melangsungkan
peminangan, maka ia boleh melakukan sebagian aktivitas seperti suami-istri asal
tidak kelewat batas. Misalnya, jalan berduaan, ngobrol berduaan, dll.
Menurut MR
Kurnia (2005:25) khitbah bukanlah pernikahan, sehingga akad khitbah bukanlah
akad pernikahan. Khithbah sebenarnya hanya merupakan janji kedua pihak untuk
menikah pada waktu yang disepakati. Dengan demikian setelah akad khithbah
dilangsungkan, maka status bagi keduanya adalah tetap orang asing (bukan mahram)
antara satu dengan lainnya.
Kendati
demikian, dalam menjalankan proses khitbah diantara keduanya boleh saling
melakukan kebaikan seperti saling memberikan hadiah, menanyakan kepribadian
masing-masing (karakter, kesukaan), cara pandang, sikap, dsb. Hal ini karena,
khithbah memang merupakan sarana untuk dapat saling mengenal lebih jauh satu
sama lain dengan cara yang ma’ruf.
Berkaitan
dengan pemberian hadiah, Rasulullah Saw bersabda: ‘Saling memberikan
hadiahlah kalian, niscaya kalian akan saling mencintai’ (HR.Abu
Hurayrah). Selain itu, Allah SWT juga telah memerintahkan kepada
laki-laki dan perempuan untuk senantiasa bertakwa kepada-Nya:
Hai
orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan Katakanlah
perkataan yang benar (QS. Al-Ahzab [33]:70)
Katakanlah
kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan
memelihara kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih Suci bagi mereka,
Sesungguhnya Allah Maha mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah kepada
wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan kemaluannya, (QS.
An-Nur [24]:30-31)
C.
Kurun Waktu Dalam Menempuh Khithbah
Kurun waktu
khithbah adalah rentang waktu antara diterimanya khithbah (akad khithbah)
hingga dilangsungkannya pernikahan (akad nikah). Bagi seorang ikhwan yang telah
mengkhithbah akhwat, berapa lamakah rentang waktu yang harus ia lewati hingga
ia dapat melangsungkan pernikahan dengannya.[7]
Berdasarkan
peristiwa khithbah yang terjadi pada masa Rasulullah Saw yaitu antara
Abdurrahman Bin ‘Auf terhadap Ummu Hakim Binti Qarizh, dimana Abdurahman Bin
‘Auf telah melakukan pengkhitbahan secara langsung kepada Ummu Hakim kemudian
dilangsungkan pula pernikahannya pada waktu itu. Terhadap kejadian ini
Rasulullah tidak menyalahkan perbuatan Abdurahman Bin ‘Auf, yang berarti pula
hal ini menunjukan persetujuan Beliau Saw.
Jadi,
sebenarnya tidak ada batasan waktu yang pasti untuk melangsungkan pernikahan
pasca dilakukannya khithbah, apakah 1 hari, 1 minggu, 1 bulan, atau bahkan satu
tahun setelahnya. Hanya saja berkaitan dengan hal ini, syara’ juga menganjurkan
untuk menyegerakan suatu perbuatan kebaikan apabila telah diniatkan. Rasulullah
Saw telah mengingatkan:
Bersegeralah
beramal sebelum datang berbagai fitnah laksana potongan-potongan malam yang
gelap. (saat itu) di pagi harinya seseorang beriman tetapi di sore harinya ia
menjadi kafir. Di sore hari seseorang beriman tapi di pagi harinya ia kafir. Ia
menjual agamannya dengan harta dunia (HR.Muslim dan Abu Hurayrah)
Melaksanakan
pernikahan dengan segera apabila segala sesuatunya telah disiapkan dan
dimantapkan (terutama niat dan ilmu, selain juga tidak mengabaikan kebutuhan
materi) merupakan hal yang dianjurkan. Firman Allah Swt: Dan kawinkanlah
orang-orang yang sendirian diantara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin)
dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan.
jika mereka miskin Allah akan memampukan mereka dengan kurnia-Nya. dan Allah
Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui. (QS. An-Nur[24]:32).
Rasulullah Saw
bersabda:
Wahai para
pemuda, barang siapa diantara kalian telah mampu untuk kawin maka menikahlah
(HR. Ahmad, Bukhari dan Muslim)
Dengan demikian
dalam menetapkan rentang waktu antara khithbah hingga pernikahan, tergantung
pada kesiapan dan kesepakatan kedua belah pihak (dan keluarganya) sehingga
kesepakatan diantara keduanyalah yang menjadi acuan untuk menetapkan waktu
pelaksanaan pernikahan setelah mempertimbangkan berbagai hal dan kemampuan yang
mendukung terlaksananya pernikahan tersebut.
Apabila rentang
antara khithbah dengan pernikahan ternyata cukup jauh, maka harus tetap adanya
upaya untuk saling menjaga diri dalam keimanan dan ketakawaan kepada Allah Swt.
Karena dalam rentang ‘masa penantian’ tersebut sangat mungkin muncul
godaan-godaan untuk terjerumus pada pelanggaran syari’at ataupun godaan untuk
berpaling kepada seorang calon yang lain, dan sebagainya. Namun bagi seorang
mukmin tentu harus mewaspadai hal ini, sehingga senantiasa diperlukan adanya
upaya diantara keduanya untuk saling berkomunikasi dan mengingatkan pada
ketakwaan, yaitu:
Barang
siapa beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak boleh sekali-kali ia
menyendiri dengan seorang perempuan yang tidak disertai mahramnya, sebab nanti
yang ketiganya adalah syetan (HR. Bukhari dan Muslim)
Dan
orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebahagian mereka (adalah)
menjadi penolong bagi sebahagian yang lain. mereka menyuruh (mengerjakan) yang
ma’ruf, mencegah dari yang munkar, mendirikan shalat, menunaikan zakat dan
mereka taat pada Allah dan Rasul-Nya. mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah;
Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS.
At-Taubah [9]:71)
Keberlangsungan
khitbah pada waktunya akan berakhir pada satu diantara dua pilihan yaitu
berlangsungnya akad pernikahan atau terjadinya pembatalan khitbah. Kedua hal
ini merupakan konsekuensi yang relevan dengan fungsi dan tujuan khithbah itu
sendiri, sehingga jangan sampai dianggap sebagai ending of story yang
harus dipaksakan. Karena pernikahan yang terpaksa hukumnya tidak sah, dan
pembatalan khithbah tanpa alasan yang syar’i juga tidak diperkenankan.
D.
Pembatalan Khithbah
Dalam
melangsungkan proses khithbah, terdapat banyak hal yang akan ditemukan oleh
kedua belah pihak (ikhwan-akhwat) terhadap keadaan, karakter, sikap, dan
sebagainya, satu sama lain. Sehingga berkaitan dengan fungsi khithbah itu
sendiri yaitu sebagai gerbang menuju pernikahan yang di dalamnya terdapat
aktifitas saling mengenal (ta’aruf) lebih jauh dengan cara yang
ma’ruf, maka apabila ketika dalam aktifitas ta’aruf tersebut salah satu pihak
menilai dan mempertimbangkan adanya ketidakcocokan antara dirinya terhadap
calon pasangannya ataupun sebaliknya, ia berhak untuk membatalkan khithbah
tersebut.
Pembatalan
khithbah merupakan hal yang wajar, bukanlah hal yang berlebihan. Menganggap hal
ini secara berlebihan merupakan perbuatan yang keliru, misal ada anggapan bahwa
pembatalan khithbah terjadi karena adanya penilaian bahwa salah satu calon bagi
calon yang lainnya memiliki banyak kekurangan kemudian ia pun menganggap
sebagai pihak yang tidak akan pernah dapat menikah dengan orang lain nantinya
(setelah diputuskan cintanya) karena saat ini pun kekurangan-kekurangan
tersebut dinilai telah berimplikasi pada kegagalan khithbahnya dengan
seseorang. Padahal itu hanyalah sikap skeptis yang muncul pada dirinya karena
lebih terdorong oleh emosional dan kelemahan iman.
Seperti halnya
dalam mengawali khithbah maka ketika akan mengakhiri khithbah dengan
pembatalanpun harus dilakukan dengan cara yang ma’ruf dan tidak menyalahi
ketentuan syara’. Dalam membatalkan khithbah, hal yang perlu diperhatikan
adalah adanya alasan-alasan syar’i yang membolehkan pembatalan tersebut
terjadi. Misalnya salah satu ataupun kedua belah pihak menemukan kekurangan-kekurangan
pada diri calonnya dan ia menilai kekurangan tersebut bersifat prinsip (fatal)
seperti dimilikinya akhlak yang rusak (gemar bermaksiat), berpandangan hidup
yang menyimpang dari mabda islam, memiliki kelainan seksual, berpenyakit
menular yang membahayakan, serta alasan-alasan lain yang dinilai dapat
menghambat keberlangsungan kehidupan rumah tangga nantinya apabila berbagai
kekurangan tersebut ternyata sulit untuk diubah.
Selain
pertimbangan berbagai uzur tersebut, pembatalan khithbah juga berlaku apabila
adanya qada dari Allah Swt semisal kematian yang menimpa salah satu calon
ataupun keduanya sebelum dilangsungkan akad pernikahan. Selain atas dasar
alasan-alasan yang syar’i, maka pembatalan khithbah tidak boleh dilakukan,
karena hal itu hanya akan menyakiti satu sama lain dan merupakan ciri dari
orang-orang yang munafik, karena telah menyalahi janji untuk menikahi pihak
yang dikhithbahnya.
Adapun
berkaitan dengan sesuatu benda yang pernah diberikan sebagai hadiah/ hibah dan
dilakukan sebelum pembatalan khithbah, maka sesuatu/benda tersebut tetap
menjadi hak milik pihak penerima. Pihak pemberi, juga tidak boleh meminta
kembali sesuatu/ benda yang pernah diberikannya tersebut.
Rasulullah Saw
pernah bersabda:
Tidak halal
seseorang yang telah memberikan sesuatu atau menghibahkan sesuatu, meminta
kembali barangnya, kecuali pemberian ayah kepada anaknya (HR. Abu
Dawud, Ibnu Majah, Tirmizi, dan Nasa’i dari Ibnu Abbas)
Membatalkan pinangan
adalah menjadi hak masing-masing yang tadinya telah mengikat perjanjian.
Terhadap orang yang menyalahi janji dalam pinangan, islam tidak menjatuhkan
hukuman materiil, sekalipun perbuatan tersebut dipandang cela oleh sebagian
orang.[8]
Mahar yang
telah diberikan oleh peminang (untuk pernikahan nantinya) kepada pinangannya
berhak diminta kembali bila akad pernikahannya tidak jadi (karena mahar itu
hanya diberikan sebagai ganti dan imbalan dalam pernikahan). Selama akad
pernikahan belum terjadi, maka pihak perempuan belum mempunyai hak untuk
memanfaatkan mahar tersebut sekalipun telah ia dapatkan.
Adapun berbagai
pemberian dan hadiah (selain mahar) maka hukumnya berbeda dengan hukum mahar,
yaitu sebagai hibah. Secara syar’i, hibah tidak boleh diminta kembali, karena
merupakan suatu derma sukarela dan tidak bersifat sebagai penggantian atas
sesuatu. Bila barang yang dihibahkan telah diterima dari si pemberi, maka bagi
pihak penerima barang tersebut sudah menjadi kepemilikan bagi dirinya dan ia
berhak untuk memanfaatkannya.
Iwan Januar[9]
mengungkapkan bahwa sikap terbaik ketika seorang mukmin menghadapi kenyataan
ini (pembatalan khithbah) adalah berserah diri kepada Allah Swt serta hanya
memohon kebaikan kepada-Nya. Rasulullah Saw, bersabda:
Menakjubkan
keadaan seorang mukmin! Sebab, segala keadaannya untuknya adalah baik, dan tidak
mungkin terjadi demikian kecuali bagi seorang mukmin: Jika ia mendapat nikmat
maka ia bersyukur, maka syukur itu baik baginya. Dan jika ia menderita
kesusahan ia bersabar, maka itupun baik baginya. (HR. Muslim).
Bab III
MAHAR DALAM PERKAWINAN
A.
Pengertian
dan Hukum Mahar
Mahar secara
etimologi artinya maskawin secara termiologi mahar ialah “pemberian wajib dari
calon suaminya kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk
menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya”.[10]
Atau, “suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami untuk calon istrinya,
baik benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dsb)”.[11]
Isalam sangat
memperhatikan dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan member hak
kepadanya, diantaranya hak untuk menerima mahar (maskawin). Orang lain tidak
boleh menjamah apalagi menggunakannya, meskipun oleh suaminya sendiri, kecuali
dengan ridha dan kerelaan si istri.
Allah SWT berfirman:
(#qè?#uäur
uä!$|¡ÏiY9$#
£`ÍkÉJ»s%ß|¹ \'s#øtÏU
4 bÎ*sù tû÷ùÏÛ
öNä3s9
`tã &äóÓx«
çm÷ZÏiB $T¡øÿtR çnqè=ä3sù $\«ÿÏZyd $\«ÿÍ£D
Berikanlah maskawin kepada wanita (yang kamu
nikahi) sebagai pemberian yang wajib, tetapi apabila istri itu dengan sukarela
menyerahkan kepada kamu, manakala pemberiannya itu dengan senang dan
baik-baik.. (Q.S An-Nisa : 4)
Imam Syafi’i
mengatakan bahwa mahar adalah suatu yang wajib diberikan oleh seorang laki-laki
kepada perempuan untuk dapat menguasai seluruh anggota badannya.[12]
Jika istri
telah menerima maharnya, tanpa paksaan dan tipu muslihat, lalu ia memberikan
sebagian maharnya boleh diterima dan tidak disalahkan. Akan tetapi, bila istri
dalam memberikan maharnya karena malu, atau takut, maka tidak halal
menerimanya.
Allah SWT
berfirman :
÷bÎ)ur
ãN?ur& tA#yö7ÏGó$# 8l÷ry
c%x6¨B 8l÷ry
óOçF÷s?#uäur £`ßg1y÷nÎ) #Y$sÜZÏ% xsù
(#räè{ù's? çm÷ZÏB
$º«øx© 4 ¼çmtRrääzù's?r& $YY»tGôgç/
$VJøOÎ)ur $YYÎ6B
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan
yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang diantara mereka
harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali darinya barang sedikit
pun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan
dengan (menanggung) dosa yang nyata? (Q.S An-Nisa’ 20).
Rosulullah SAW
bersabda :
Dari
amir bin Rabi’ah: sesungguhnya seorang perempuan dari bani fazarah kawin dengan
maskawin sepasang sandal. Rosulullah SAW bertanya : relakah engkau dengan
maskawin sepasang sandal? Perempuan itu menjawab : ya, akhirnya Rosul
meluluskannya.
Sabdanya lagi :
Kawinlah engkau walaupun dengan maskawin
cin-cin dari besi
B.
Syarat-Syarat
Mahar
Mahar yang
diberikan kepada calon istri harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
a. Harta/bendanya
berharga. Tidak sah mahar dengan yang tidak berharga, walaupun tidak ada
ketentuan banyak atau sedikitnya mahar. Akan tetapi mahar sedikit tapi bernilai
maka tetap sah.
b. Barang
suci dan bisa diambil manfaat. Tidak sah mahar dengan khamar, babi, atau darah,
karena semua itu haram dan tidak berharga.
c. Barangnya
bukan barang ghasab. Ghasab artinya
mengambil barang orang lain tanpa seizinnya, berniat untuk mengembalikannya
kelak. Memberikan mahar dengan barang hasil ghasab tidak sah tetapi akadnya
sah.
d. Bukan
barang yang tidak jelas keberadaannya. Tidak sah mahar dengan memberikan barang
yang tidak jelas keadaannya, atau tidak disebutkan jenisnya.[13]
C.
Kadar
(Jumlah) Mahar
Mengenai
besarnya mahar, para fuqaha telah sepakat bahwa bagi mahar itu tidak ada batas
tertinggi. Kemudian mereka berselisih tentang batas terendahnya.
Imam
Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur dan fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in
berpendapat bahwa bagi mahar tidak ada batas terendahnya. Segala sesuatu yang
dapat menjadi harga bagi sesuatu yang lain dapat dijadikan mahar. Pendapat ini
juga dikemukakan oleh Ibnu Wahab dari kalangan pengikut Imam Malik.
Sebagian
lain fuqaha berpendapat bahwa mahar itu ada batas terendahnya. Imam Malik dan
para pengikutnya mengatakan bahwa mahar itu paling sedikit seperempat emas
dinar murni, atau perak seberat tiga dirham, atau bisa dengan barang yang
sebanding berat emas dan perak tersebut.
Imam Abu
Hanifah berpendapat bahwa paling sedikit mahar itu adalah sepuluh dirham. Riwayat
lain ada yang mengatakan yang mengatakan empat puluh dirham.
Pangkal silang pendapat ini kata Ibn Rusyd ada
dua hal hal, yaitu:
1. Ketidak
jelasan akad nikah itu sendiri antara kedudukannya sebagai salah satu jenis
pertukaran, karena yang dijadikan adalah kerelaan menerima ganti, baik sedikit
maupun banyak, seperti halnya dalm jual beli dan kedudukannya sebagai ibadah
yang sudah ada ketentuannya. Demikian itu karena ditinjau dari segi bahwa
dengan mahar itu laki-laki dapat memiliki jasa wanita untuk selamanya, maka
perkawinan itu mirip dengan pertukaran tetapi ditinjau dari segi adanya
larangan mengadakan persetujuan untuk meniadakan mahar, maka mahar itu mirip
dengan ibadah.
2. Adanya
pertentangan antara qiyas yang menghendaki adanya pembatasan mahar dengan
mafhum hadits yang tidak menghendaki adanya pembatasan. Qiyas yang menghendaki
adanya pembatasan adalah seperti pernikahan itu ibadah, sedangkan ibadah itu
sudah ada ketentuannya.
Mereka
berpendapat bahwa sabda Nabi SAW, “carilah, walaupun hanya cicin besi”,
merupakan dalil bahwa mahar itu tidak mempunyai batasan terendahnya. Karen
memeng jika memang ada batas terendahnya tentu beliau menjelaskannya.[14]
D.
Memberi
Mahar Dengan Kontan Dan Hutang
Pelaksanaan
membayar mahar bisa dilakukan sesuai dengan kemampuan atau disesuaikan dengan
keadaan dan adat masyarakat, atau kebiasaan yang berlaku. Mahar boleh
dilaksanakan dan diberikan dengan kontan atau hutang, apakah mau dibayar kontan
sebagian dan hutang sebagian yang lain. Kalu memang demikian, maka disunnatkan
membayar kontan sebagian, berdasarkan sabda Nabi SAW:
Dari Ibnu Abbas bahwa Nabi Saw melarang Ali
mengumpuli Fatimah sampai ia memberikan sesuatu kepadanya. Lalu jawabanya: saya
tidak punya apa-apa. Maka sabdanya : dimanakah baju besi Huthamiyyahmu? Lalu
diberikan barang itu kepada Fatimah.
Hadits di atas
menunjukan bahwa larangan itu dimaksudkan sebagai tinadakan yang lebih baik,
dan secara hokum dipandang sunnah memberikan mahar sebagian lebih dulu.
Dalam hal
penundaan pembayaran mahar (dihutang) terdapat dua perbedaan di kalangan ahli
fiqih. Segolongan ahli fiqih berpendapat bahwa mahar itu tidak boleh diberikan
dengan cara di hutang keseluruhan. Segolongan lainnya mengatakan bahwa mahar
boleh ditunda pembayarannya, tetapi menganjurkan agar membayar sebagian mahar
dimuka manakala akan menggauli istri. Dan diantara fuqaha yang membolehkan
penundaan mahar (diangsur) ada yang membolehkan hanya untuk tenggang waktu terbatas
yang telah ditetapkannya.
E.
Macam-Macam
Mahar
Ulama fiqih
sepakat bahwa mahar itu ada dua macam, yaitu mahar musamma dan mahar mitsil
(sepadan).
a. Mahar musamma
Mahar musamma
yaitu mahar yang sudah disebut atau dijanjikan kadar dan besarnya ketika akad
nikah. Atau, mahar yang dinyatakan kadarnya pada waktu akad nikah.[15]
Ulama fiqih sepakat bahwa dalam pelaksanaannya, mahar musamma harus diberikan
secara penuh apabila:
(1) Telah
bercampur (bersenggama). Tentang hal ini Allah SWT berfirman:
Dan jika kamu ingin mengganti istrimu dengan
istri yang lain, sedangkan kamu telah memberikan kepada seseorang diantara
mereka harta yang banyak, maka kamu jangan mengambil kembali darinya barang sedikitpun.
(2) Salah
satu dari suami istri meninggal. Demikian menurut ijma’.
Mahar musamma
wajib dibayar seluruhnya apabila suami telah bercampur dengan istri, dan
ternyata nikahnya rusak dengan sebab-sebab tertentu, seperti ternyata istrinya
mahram sendiri, atau dikira perawan ternyata janda, atau hamil dari bekas suami
lama. Akan tetapi, kalu istri dicerai sebelum bercampur, hanya wajib dibayar
setengahnya, berdasrkan firman Allah SWT:
bÎ)ur £`èdqßJçFø)¯=sÛ `ÏB È@ö6s%
br& £`èdq¡yJs? ôs%ur
óOçFôÊtsù
£`çlm;
ZpÒÌsù ß#óÁÏYsù
$tB ÷LäêôÊtsù
Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum
bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya,
maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu…
b. Mahar Mitsil (Sepadan)
Mahar mitsil
yaitu mahar yang tidak disebut besar kadarnya pada saat sebelum ataupun ketika
terjadi pernikahan. Atau mahat yang diukur (sepadan) dengan mahar yang pernah
diterima oleh keluarga terdekat, agak jauh dari tetangga sekitarnya, dengan
mengingat status social, kecantikan dan sebagainya.[16]
Bila terjadi
demikian (mahar itu tidak disebut besarkadarnya pada saat sebelum atau ketika
terjadi pernikahan), maka mahar itu mengikuti maharnya saudara perempuan
pengantin wanita (bibi, bude, anak perempuan bibi/bude). Apabila tidak ada,
maka mitsil itu beralih dengan ukuran wanita lain yang sederajat dengan dia.
Mahar mitsil
juga terjadi dalam keadaan sebagai berikut:
(1) Apabila
tidak disebutkan kadar mahar dan besarnya ketika berlangsung akad nikah
kenudian suami telah bercampur dengan istri, atau meninggal sebelum bercampur.
(2) Jika
mahar musamma belum dibayar sedangkan suami telah bercampur dengan istri dan
ternyata nikahnya tidak sah.
Nikah yang
tidak disebutkan dan tidak ditetapkan maharnya disebut nikah tafwidh. Hal ini menurut jumhur ulama dibolehkan. Firman Allah
SWT:
Tidak ada sesuatu pun (mahar) atas kamu, jika
kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum
menentukan maharnya…
Ayat ini
menunjukan bahwa seorang suami boleh menceraikan istrinya sebelum digauli dan
juga ditetapkan jumlah mahar tertentu kepada istrinya itu. Dalam hal ini, maka
istri berhak menerima mahar mitsil.
Bab IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Khithbah adalah
menampakan keinginan menikah terhadap seorang perempuan tertentu dengan
memberitahu perempuan yang dimaksud atau keluarganya (walinya). Khitbah didalam
bahasa Indonesia disebut peminangan berasal dari kata “pinang, meminang” (kata
keerja). Menurut etimologi meminang atau melamar artinya (antara lain) meminta
wanita untuk dijadikan istri (bagi diri sendiri atau orang lain). Menurut
terminologi peminangan ialah kegiatan upaya kearah terjadinya hubungan
perjodohan antara seorang pria dengan wanita. Atau seorang laki-laki meminta
kepada seorang perempuan untuk menjadi istrinya, dengan cara yang umum berlaku
ditengah-tengah masyarakat.
Proses khitbah
dapat berlangsung, yaitu diantaranya khitbah dapat dilakukan sendiri oleh
seorang ikhwan langsung kepada akhwatnya ataupun dengan mewakilkan, kemudian
bisa juga dilakukan oleh seorang ikhwan kepada keluarga atau wali pihak akhwat.
Hal yang perlu
dipahami dalam khitbah diantaranya adalah:
1.
Kebolehan Melihat Akhwat Yang Dikhithbah
2.
Tidak Boleh Mengkhithbah Akhwat Yang Masih
Dikhithbah Seorang Ikhwan
3.
Seorang
Akhwat Berhak untuk Menerima ataupun Menolak
4.
Khitbah Bukanlah Setengah Pernikahan
Mahar secara
etimologi artinya maskawin secara termiologi mahar ialah “pemberian wajib dari
calon suaminya kepada calon istri sebagai ketulusan hati calon suami untuk
menimbulkan rasa cinta kasih bagi seorang istri kepada calon suaminya”. Atau,
“suatu pemberian yang diwajibkan bagi calon suami untuk calon istrinya, baik
benda maupun jasa (memerdekakan, mengajar, dsb)”. Isalam sangat memperhatikan
dan menghargai kedudukan seorang wanita dengan member hak kepadanya,
diantaranya hak untuk menerima mahar (maskawin).
[1]
Syamsudin Ramdhan, 2004:49
[2]
MR. Kurnia, 2005:19
[3]
(Syamsudin Ramdhan, 2004:56).
[4]
Syamsudin Ramdhan (2004:54)
[5]
MR.Kurnia, 2005:23
[6]
An-Nabhaniy (2001:161)
[7]
Muhamad Thalib, 2002:69
[8]
Muhammad Thalib (2002:76)
[9]
Iwan Januar (2005:4)
[10]
Slamet Abidin dan H. Aminudin, op. cit.,
h. 105.
[11]
Lihat kamus Istilah fiqh. h. 184.
Lihat pula Zakiah Daradjat, op. cit., h.
83
[12] Abdurrahman
Al-Jaziriy, Al-Fiqh ‘ala Madzahib
al-Arba’ah., juz 4, h. 94
[13]
Abdurrahman Al-Jaziriy, op. cit., h.
103
[14]
Ibn Rusyd, op. cit., h. 14-15
[15]
Lihat kamus Istilah fiqh. h. 185
[16]
Lihat kamus Istilah fiqh. h. 185
Tidak ada komentar:
Posting Komentar