KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim.
Alhamdulillah, kita panjatkan kehadirat Allah SWT yang
telah memberikan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya kepada kita semua sehingga
penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan sebaik-baiknya.
Sholawat serta salam semoga tetap terlimpahkan kepada
beliau Nabi Muhammad SAW yang telah membawa umatnya dari jaman jahiliah menuju
jaman yang penuh cahaya, yakni "Islam" yang senantiasa di ridhoi
Allah SWT.
Dalam penyelesaian makalah ini, penulis banyak
mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, maka dengan penuh santun dan hormat
penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada bapak dosen dan
teman-teman yang telah membantu penulis.
Dalam penulisan makalah ini, penulis
menyadari masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu dengan segala
kerendahan hati penulis mengharap saran dan kritik yang bersifat membangun dari
berbagai pihak untuk menyempurnakan makalah akhir yang sederhana ini.
Akhir kata, penulis mohon maaf apabila ada
kesalahan dan kekhilafan. Semoga laporan ini dapat menambah khasanah atau
cakrawala pemikiran penulis khususnya dan pembaca pada umumnya. Atas
perhatiannya "Jazakumullah Ahsanal Jaza' … Amin".
Billahit Taufiq Walhidayah.
Bandung,16 juni 2011
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….. i
DAFTAR ISI ……………………………………………………………………………... ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah …………………………………………………………….... 1
1.2 Pembatasan Masalah ………………………………………………………………….. 1
1.3 Tujuan masalah
………………………………..…………………………………… 1
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Poligami
………………………….…………………………………….... 2
2.1.3
Pengertian Poligami Menurut Para Ulama ………………………………. 3
2.2
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Poligami
……………………………………… 5
2.2.1 Faktor-Faktor Biologis
…………………………………………….. …….. 5
2.2.2 Faktor Internal Rumah Tangga …………………………………………. 6
2.2.3 Faktor Sosial …………………………………………………………….. 7
2.3
Syarat Dibolehkanya poligami
……………………………………………………….. 8
2.3.1 Membatasi Jumlah Isteri yang
Akan Dinikahi ………………………….. 9
2.3.2 Diharamkan mengumpulkan
wanita_wanita bersaudara ……………….
9
2.3.3 Berlaku Adil
……………………………………………………………… 10
2.4 Anak-Anak Mempunyai Hak dari Seorang Ayah ……..…………………………. 13
2.5 Hikmah Dibolehkannya Poligami …………………………………………………. 15
2.6
Dampak Negatif Poligami ………….……………………………………………... 16
2.7
Pandangan Saya Sebagai Mahasiswa Terhadap Poligami ……………………….. 17
BAB III PENUTUP
1. Kesimpulan
………………………………………………………………………… 19
2. Saran ………………………………………………………………………………… 19
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………………………… 20
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Poligami merupakan suatu
tindakan yang saat ini masih menjadi pro kontra di masyarakat. Hal ini
dikarenakana perbedaan pendapat / pandangan masyarakat. Masih banyak yang menganggap poligami adalah suatu
perbuatan negatif.
Hal ini terjadi karena
poligami dianggap menyakiti kaum wanita dan hanya menguntungkan
bagi kaum pria saja. Di Indonesia sendiri, masih belum
ada Undang-Undang yang menjelaskan secara rinci boleh tidaknya poligami
dilakukan.
Tujuan hidup keluarga
adalah untuk mendapatkan kebahagiaan lahir dan batin. Namun dengan adanya
Polligami yang dilakukan sang suami, kebahagiaan dalam keluarga dapat menjadi
hilang. Hal ini tentunya merugikan bagi kaum istri dan anak-anaknya karena
mereka beranggapan tidak akan mendapatkan perlakuan yang adil dari sang suami.
Pandangan masyarakat
terhadap poligami beragam, ada yang setuju namun juga ada yang tidak setuju
atau menentang terlebih lagi bagi kaum hawa yang merasa dirugikan, karena harus
berbagi dengan yang lain. Hal ini dipengaruhi dengan perekonomian keluarga yang
tidak memungkinkan poligami.
Berdasarkan uraian
itulah saya memilih judul “ Poligami Menurut Pandangan Islam “ untuk mengetahui lebih jauh lagi tentang
permasalahan poligami yang masih menjadi pro kontra masyarakat.
1.2 Pembatasan Masalah
Menjaga terbatasnya
waktu dalam plenulisan karya ilmiah ini, saya hanya membatasi pembahasan-
pembahasan poligami menurut Pandangan Agama Islam.
1.3 Tujuan
Untuk mengetahui pandangan islam tentang poligami yang masih
menjadi pro konra di masyarakat
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pengertian Poligami
Dalam antropologi
sosial, poligami merupakan praktik pernikahan kepada lebih dari satu suami atau
istri (sesuai dengan jenis kelamin orang bersangkutan) sekaligus pada suatu
saat (berlawanan dengan monogami, di mana seseorang memiliki hanya satu suami
atau istri pada suatu saat).
Walaupun diperbolehkan
dalam beberapa kebudayaan, poligami ditentang oleh sebagian kalangan. Terutama
kaum feminis menentang poligami, karena mereka menganggap poligami sebagai
bentuk penindasan kepada kaum wanita.Islam pada dasarnya memperbolehkan seorang
pria beristri lebih dari satu (poligami).
Islam memperbolehkan seorang pria beristri
hingga empat orang istri dengan syarat sang suami harus dapat berbuat adil
terhadap seluruh istrinya (Surat an-Nisa ayat 3 4:3).
Poligami dalam Islam
baik dalam hukum maupun praktiknya, diterapkan secara bervariasi di tiap-tiap
negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam. Di Indonesia sendiri terdapat
hukum yang memperketat aturan poligami untuk pegawai negeri, dan sedang dalam
wacana untuk diberlakukan kepada publik secara umum.
Tunisia adalah contoh negara arab dimana poligami
tidak diperbolehkan. Menurut Gustave Le Bon, di Eropa tidak ada praktik atau
tradisi timur yang dikritik dengan begitu sengitnya selain poligami.
2.1.2 Poligami Menurut Pandangan Islam
Poligami merupakan salah
satu isu yang disorot tajam kalangan feminis, tak terkecuali feminis islam.
Poligami adalah isyarat islam yang merupakan sunah Rasulullah SAW tentunya
dengan syarat sang suami memiliki kemampuan untuk adil diantara para
isteri.Sebagai mana pada ayat yang artiya : “Dan jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil terhadap(hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya),maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senang, dua, tiga
atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak dapat berlaku adil,maka (kawinilah)
seorang saja, atau budak-budak yangkamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat daripada tidak berbuat aniaya.” (QS.An-Nisa ayat ke-3)
وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا
بَيْنَ النِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا
كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللهَ كَانَ غَفُورًا
رَّحِيمًا
“Dan kamu
sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil diantara isteri-isteri(mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalau cenderung
(kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung.”
(QS.An-Nisa ayat 129)
Selain itu, tidak adanya
ayat Al-Quran dan sunah Rasulullah yang menggambarkan diperbolehkan atau
dilarangnya poligami. Sesungguhnya poligami yang diatur dalam islam tidak
memperbolehkan bagi laki-laki untuk berhubungan dengan wanita yang ia sukai
diluar pernikahan.
Poligami merupakan
sistem yang manusiawi, karena dapat meringankan beban masyarakat yaitu dengan
melindungi wanita yang tidak bersuami dan menempatkannya ke shaf para isteri
yang terpelihara dan terjaga.
2.1.3 Pengertian Poligami Menurut Para Ulama
Banyak ulama yang angkat
bicara soal poligami, dari pernyataan dan komentar-komentar yang
disampaikannya, diharapkan dapat menjadi bahan renungan dan masukan bagi saya,
sekaligus menambah wawasan saya tentang fenomena poligami dan realita yang
terjadi di masyarakat.
Menurut Prof. Dr. Musdah Mulia, MA, dosen pasca
sarjana UIN Syarif Hidayatullah,
“Poligami itu haram lighairih, yaitu haram
karena adanya dampak buruk dan ekses-eskes yang ditimbulkannya.”
Ia juga mengaku memiliki
data yang menunjukkan bahwa praktik poligami di masyarakat telah menimbulkan
masalah yang sangat krusial dan problem sosial yang sangat besar. Begitu juga
dengan tingginya Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), keretakan rumah tangga
dan penelantaran anak-anak.
Prof. Dr. Quraish Shihab menyatakan, “Poligami
itu mirip dengan pintu darurat dalam pesawat terbang, yang hanya boleh dibuka
dalam keadaan emergency tertentu.”
Hal senada disampaikan pula oleh Ketua PBNU KH.
Hasyim Muzadi, “Poligami tak ubahnya sebuah pintu darurat (emergency exit) yang
memang disediakan bagi yang membutuhkannya.” Dalam kesempatan yang lain, beliau
juga mengatakan, “Poligami atau monogamy adalah sebuah pilihan yang diberikan
islam untuk manusia, keduanya tak perlu dikontradiksikan.”
Dr. KH. Miftah Faridh
(Direktur PUSDAI Jabar), juga memiliki pandangan yang sama, “Poligami dalam
pandangan islam merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk memecahkan
berbagai masalah sosial yang dihadapi manusia. Poligami tidak perlu
dipertentangkan , apalagi sampai menimbulkan keretakan ukhuwah Islamiyah,
adapun jika ada yang belum siap melakukannya, itu lain persoalan.”
Pendapat
yang sama, juga disampaikan oleh Prof. Huzaemah Tahido Yanggo. Ahli fikih
lulusan Universitas Al-Azhar Mesir ini menyatakan, bahwa poligami sesuai dengan
syariat islam. Menurutnya, hak poligami bagi suami telah dikompensasi dengan
hak istri untuk menuntut pembatalan akad nikah dengan jalan khulu’, yaitu
ketika sang suami berbuat semena-mena terhadap istrinya. Yang jelas istri
memperbolehkan suami dengan syarat adil. Syarat ini merupakan suatu
penghormatan kepada wanita, bila tidak dipenuhi akan mengakibatkan dosa. Kalau
suami tidak berlaku adil kepada istri-istrinya, berarti dia tidak mu’asyarah
bil ma’ruf (bergaul dengan baik) kepada mereka.
Direktur utama Pusat
Konsultasi Syariah, Dr. Surahman Hidayat, mengatakan , “Nikah itu baik poligami
atau monogamy, tidak untuk menzalimi siapa pun. Justru untuk tegaknya
kebahagiaan, yang pada gilirannya terwujud rumah tangga yang sakinah mawaddah
wa rahman.”
Pimpinan pesantren Darut Tauhid, KH.
Abdullah Gymnastiar atau akrab dipanggil Aa Gym, menyatakan sebelum ia
berpoligami, “Poligami merupakan syariat Islam yang sangat darurat. Wacana soal
poligami itu perlu diketahui dan dipahami. Oleh karena itu, wacana poligami
tidak perlu dipertentangkan oleh umat islam. Di berbagai tempat ceramah, saya
sering menyebarkan wacana tentang poligami, karena hal itu adalah ajaran islam.
Kalau saya sendiri, sampai sekarang masih belum siap berpoligami. Untuk saat
ini saya sudah merasa bahagia hidup bersama satu orang istri dan tujuh orang
anak titipan Allah Ta’ala.”
Dan setelah dirinya
resmi menikahi isrti keduanya, banyak pernyataan yang beliau sampaikan. Di
antaranya beliau mengatakan, “Saya prihatin dengan adanya pandangan kurang baik
terhadap poligami. Seakan para pelaku poligami adalah seorang penjahat yang
telah melakukan kejahatan yang sangat besar”. Namun beliau juga tidak
menganjurkan jamaahnya untuk berpoligami, “Kalau tidak ada ilmunya, lebih baik
jangan”, ujarnya.
2.2 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Poligami
Menurut Abu Azzam
Abdillah, banyak faktor yang sering memotivasi seorang pria untuk melakukan
poligami. Selama dorongan tersebut tidak menyimpang dari ketentuan syariat,
tentu tidak ada cela dan larangan untuk melakukannya. Berikut ini beberapa
faktor utama yang menjadi pertimbangan kaum pria dalam melakukan poligami.
2.2.1 Faktor- Faktor Biologis
a. Istri yang Sakit
Adanya seorang istri
yang menderita suatu penyakit yang tidak memungkinkan baginya untuk melayani
hasrat seksual suaminya. Bagi suami yang shaleh akan memilih poligami dari pada
energi ke tempat–tempat mesum dengan sejumlah wanita pelacur
b. Hasrat Seksual yang
Tinggi
Sebagian kaum pria
memiliki gairah dan hasrat seksual yang tinggi dan menggebu, sehingga baginya
satu istri dirasa tidak cukup untuk menyalurkan hasratnya tersebut.
c. Rutinitas Alami
Setiap Wanita
Adanya masa-masa haid,
kehamilan dan melahirkan, menjadi alasan utama seorang wanita tidak dapat
menjalankan salah satu kewajiban terhadap suaminya. Jika suami dapat bersabar
menghadapi kondisi seperti itu, tentu tidak akan menjadi masalah. Tetapi jika
suami termasuk orang yang hasrat seksualnya tinggi, beberapa hari saja istrinya
mengalami haid, dikhawatirkan sang suami tidak bisa menjaga diri, maka poligami
bisa menjadi pilihannya.
d. Masa Subur Kaum Pria
Lebih Lama
Kaum pria memiliki masa
subur yang lebih lama dibandingkan wanita. Dokter Boyke, seorang seksolog,
mengakui banyak menangani kasus perselingkuhan pria usia 40-50 tahun, karena
pada usia tersebut pria mendapat puber kedua, sementara para istri umumnya
malah menjadi frigid.
2.2.2 Faktor Internal Rumah Tangga
Menurut buku ‘Hitam
Putih Poligami’, terdapat beberapa faktor internal rumahtangga yang mendorong
suami untuk berpoligami.
a. Kemandulan
Banyak kasus perceraian
yang dilatarbelakangi oleh masalah kemandulan , baik kemandulan yang terjadi
pada suami maupun yang dialami istri. Hal ini terjadi karena keinginan
seseorang untuk mendapat keturunan merupakan salah satu tujuan utama pernikahan
dilakukannya.
Dalam kondisi seperti
itu, seorang istri yang bijak dan shalihah tentu akan berbesar hati dan ridha
bila sang suami menikahi wanita lain yang dapat memberikan keturunan. Di sisi
lain, sang suami tetep memposisikan istri pertamanya sebagai orang yang
mempunyai tempat di hatinya, tetap dicintainya, dan hidup bahagia bersamanya.
b. Istri yang Lemah
Ketika sang suami
mendapati istrinya dalam keadaan serba terbatas , tidak mampu menyelesaikan
tugas-tugas rumahtangganya dengan baik, tidak bisa mengarahkan dan mendidik
anak-anaknya, lemah wawasan ilmu dan agamanya,serta bentuk-bentuk kekurangan
lainnya.maka pada saat itu,kemungkinan suami melirik wanita lain yang
dianggapnya lebih baik,bisa saja terjadi.dan sang istri hendaknya berlapang
dada bahkan berbahagia,karena akan ada wanita lainyang membantunya memecahkan
persoalan rumah tangganya,tanpa akan kehilangan cinta dan kasih saying
suaminya.
c. Kepribadian yang
Buruk
Istri yang tidak pandai
bersyukur, banyak menuntut, boros, suka berkata kasar, gampang marah, tidak mau
menerima nasihat suami dan selau ingin menang sendiri, biasanya tidak disukai
sang suami. Oleh karenanya, tidak jarang suami yang mulai berpikir untuk
menikahi wanita lain yang dianggap lebih baik dan lebih shalihah, apalagi jika
watak dan karakter buruk sang istri tidak bisa diperbaiki lagi.
2.2.3 Faktor Sosial
a. Banyaknya Jumlah
Wanita
Di Indonesia, pada
PEMILU tahun 1999, jumlah pemilih pria hanya 48%, sedangkan pemilih wanita
sebanyak 52%. Berarti dari jumlah 110 Juta jiwa pemilih tersebut, jumlah wanita
adalah 57,2 juta orang dan Jumlah pria 52,8 juta orang. Padahal usia para
pemilih itu merupakan usia siap nikah.
b. Kesiapan Menikah dan
Harapan Hidup pada Wanita
Jika saya mencoba
melakukan survei pada masalah kesiapan menikah, pasti para wanita akan lebih
banyak jumlahnya daripada jumlahnya daripada kaum pria. Bahkan di daerah-daerah
tertentu, wanita usia 14-16 tahun sudah banyak yang bersuami, dan wanita yang
usianya 20 tahun merasa sudah terlambat menikah. Sebagian pendapat juga
mengatakan bahwa harapan hidup kaum wanita, lebih panjang daripada harapan
hidup kaum pria, perbedaannya berkisar 5-6 tahun. Sehingga tidak heran jika
lebih banyak suami yang lebih dahulu meninggal dunia, sedangkan sang istri
harus hidup menjanda dalam waktu yang sangat lama, tanpa ada yang mengayomi,
melindungi, dan tiada yang memberi nafkah secara layak.
c. Berkurangnya Jumlah
Kaum Pria
Dampak paling nyata yang
ditimbulkan akibat banyaknya jumlah kematian pada kaum pria adalah semakin
bertambahnya jumlah perempuan yang kehilangan suami dan terpaksa harus hidup
menjanda.lalu siapakah yang akan bertanggung jawab mengayomi,memberi
perlindungan dan memenuhi nafkah lahir dan batinnya,jika mereka terus
menjanda?solusinya tida lain,kecuali menikah lagi dengan seorang jejaka,atau
duda,atau memasuki kehidupan poligami dengan pria yang telah beristri.itulah
solusi yang lebih mulia,halal dan baradab.
d. Lingkungan dan
Tradisi
Lingkungan tempat saya
hidup dan beraktivitas sangat besar pengaruhnya dalam mempentuk karakter dan
sikap hidup seseorang. Seorang suami akan tergerak hatinya untuk melakukan
poligami, jika ia hidup di lingkungan atau komunitas yang memelihara tradisi
poligami.
Sebaliknya ia akan
bersikap antipati, sungkan dan berpikir seribu kali untuk melakukannya, jika
lingkungan dan tradisi yang ada di sekitarnya menganggap poligami sebagai hal
yang tabu dan buruk, sehingga mereka melecehkan dan merendahkan para pelakunya.
e. Kemapanan Ekonomi
Inilah salah satu
motivator poligami yang paling sering saya dapati pada kehidupan modern
sekarang ini. Kesuksesan dalam bisnis dan mapannya perekonomian seseorang,
sering menumbuhkan sikap percaya diri dan keyakinan akan kemampuannya
menghidupi istri lebih dari satu.
2.3 Syarat Diperbolehkannya Poligami
Syarat yang dituntut
Islam dari seotrang muslim yang akan melakukan poligami adalah keyakinan
dirinya bahwa ia bisa berlaku adil di antara dua istri atau istri-istrinya
dalam hal makanan, minuman, tempat tinggal, pakaian , dan nafkah. Barang siapa
kurang yakin akan kemampuannya memenuhi hak-hak tersebut dengan seadil-adilnya,
haramlah baginya menikah dengan lebih dari satu perempuan. Allah SWT berfirman
:
فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا
فَوَاحِدَةً
“ Lalu
jika kalian khawatir tidak bisa adil, cukuplah satu saja.” (An- Nisa : 3)
Beliau SWT juga bersabda,
“ Barang siapa mempunyai dua istri, sementara ia
lebih condong kepada salah satu diantara keduanya, maka pada hari kiamat nanti
akan datang dengan menyeret salah satu belahan tubuhnya yang terjatuh atau
miring.”
Miring yang
diperingatkan dalam hadist ini adalah ketidakadilan dalam hak-haknya, bukan
sekedar kecenderungan hati, karena yang disebut terakhir ini termasuk hal
yang susah dipenuhi, bahkan dimaklumi dan dimaafkan Allah Swt.
Menurut beberapa ulama,
setelah meninjau ayat-ayat tentang poligami, mereka telah menetapkan bahwa
menurut asalnya, Islam sebenamya ialah monogami. Terdapat ayat yang mengandungi
urutan serta peringatan agar tidak disalah gunakan poligami itu di
tempat-tempat yang tidak wajar. Ini semua bertujuan supaya tidak terjadinya
kezaliman. Tetapi, poligami diperbolehkan dengan syarat ia dilakukan pada
masa-masa terdesak untuk mengatasi perkara yang tidak dapat diatasi dengan
jalan lain. Atau dengan kata lain bahwa poligami itu diperbolehkan oleh Islam
dan tidak dilarang kecuali jikalau dikhawatirkan bahwa kebaikannya akan
dikalahkan oleh keburukannya.
Jadi, sebagaimana talaq,
begitu jugalah halnya dengan poligami yang diperbolehkan karena hendak mencari
jalan keluar dari kesulitan. Islam memperbolehkan umatnya berpoligami
berdasarkan nash-nash syariat serta realiti keadaan masyarakat. Ini bererti ia
tidak boleh dilakukan dengan sewenang-wenangnya demi untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat Islam, demi untuk menjaga ketinggian budi pekerti dan
nilai kaum Muslimin.
Oleh yang demikian,
apabila seorang lelaki akan berpoligami, hendaklah dia memenuhi syarat-syarat
sebagai berikut;
2.3.1 Membatasi Jumlah Isteri Yang Akan
Dikahwininya.
Syarat ini telah disebutkan oleh Allah (SWT)
dengan firman-Nya;
فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ
مَثْنَى وَثُلاَثَ وَرُبَاعَ
“Maka
berkahwinlah dengan sesiapa yang kamu ber-kenan dari perempuan-perempuan
(lain): dua, tiga atau empat.” (Al-Qur’an, Surah an-Nisa ayat 3)
Ayat di atas menerangkan
dengan jelas bahwa Allah telah menetapkan seseorang itu berkahwin tidak boleh
lebih dari empat orang isteri. Jadi, Islam membatasi kalau tidak beristeri
satu, boleh dua, tiga atau empat saja.
Pembatasan ini juga
bertujuan membatasi kaum lelaki yang suka dengan perempuan agar tidak berbuat
sesuka hatinya. Di samping itu, dengan pembatasan empat orang isteri,
diharapkan jangan sampai ada lelaki yang tidak menemukan isteri atau ada pula
wanita yang tidak menemukan suami. Mungkin, kalau Islam membolehkan dua orang
isteri saja, maka akan banyak wanita yang tidak menikah. Kalau pula dibolehkan
lebih dari empat, mungkin terjadi banyak lelaki tidak memperolehi isteri.
2.3.2 Diharamkan bagi suami mengumpulkan
wanita-wanita yang masih ada tali persaudaraan menjadi isterinya.
Misalnya, berkahwin
dengan kakak dan adik, ibu dan anaknya, anak saudara dengan emak saudara baik
sebelah ayah maupun ibu.
Tujuan pengharaman ini
ialah untuk menjaga silaturrahim antara anggota-anggota keluarga. Rasulullah
(s.a.w.) bersabda, maksudnya;“Sesungguhnya kalau kamu berbuat yang demikian
itu, akibatnya kamu akan memutuskan silaturrahim di antara sesama kamu.”
(Hadis riwayat Bukhari & Muslim)
Kemudian dalam hadis
berikut, Rasulullah (s.a.w.) juga memperkuatkan larangan ini, maksudnya; Bahwa
Urnmu Habibah (isteri Rasulullah) mengusulkan agar baginda menikahi adiknya.
Maka beliau menjawab; “Sesungguhnya dia tidak halal untukku.” (Hadis
riwayat Bukhari dan Nasa’i)
Seorang sahabat bernama
Fairuz Ad-Dailamy setelah memeluk agama Islam, beliau memberitahu kepada
Rasulullah bahwa beliau mempunyai isteri yang kakak beradik. Maka Rasulullah
menyuruhnya memilih salah seorang di antara mereka dan menceraikan yang satunya
lagi. Jadi telah disepakati tentang haramnya mengumpulkan kakak beradik ini di
dalam Islam.
2.3.3 Disyaratkan pula berlaku adil,
sebagaimana yang difirmankan Allah (SWT);
وَإِنْ خِفْتُمْ أّلاَّتُقْسِطُوا
فِي الْيَتَامَى فَانكِحُوا مَاطَابَ لَكُم مِّنَ النِّسَآءِ مَثْنَى وَثُلاَثَ
وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلاَّتَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً أَوْ مَامَلَكَتْ
أَيْمَانُكُمْ ذَلِكَ أَدْنَى أَلاَّتَعُولُوا
“Kemudian jika kamu bimbang tidak dapat berlaku
adil (di antara isteri-isteri kamu), maka (kahwinlah dengan) seorang saja, atau
(pakailah) hamba-hamba perempuan yang kaumiliki. Yang demikian itu adalah lebih
dekat (untuk mencegah) supaya kamu tidak melakukan kezaliman.” (Al-Qur’an,
Surah an-Nisa ayat 3)
Dengan tegas diterangkan
serta dituntut agar para suami bersikap adil jika akan berpoligami. Andaikan
takut tidak dapat berlaku adil kalau sampai empat orang isteri, cukuplah tiga
orang saja. Tetapi kalau itupun masih juga tidak dapat adil, cukuplah dua saja.
Dan kalau dua itu pun masih khuatir tidak boleh berlaku adil, maka hendaklah
menikah dengan seorang saja.
Para mufassirin
berpendapat bahwa berlaku adil itu wajib. Adil di sini bukanlah bererti hanya
adil terhadap para isteri saja, tetapi mengandungi arti berlaku adil secara
mutlak. Oleh karena itu seorang suami hendaklah berlaku adil sebagai berikut:
a.
Berlaku adil terhadap dirinya sendiri.
Seorang suami yang
selalu sakit-sakitan dan mengalami kesukaran untuk bekerja mencari rezeki,
sudah tentu tidak akan dapat memelihara beberapa orang isteri. Apabila dia
tetap berpoligami, ini bererti dia telah menganiayai dirinya sendiri. Sikap
yang demikian adalah tidak adil.
b.
Adil di antara para isteri.
Setiap isteri berhak
mendapatkan hak masing-masing dari suaminya, berupa kemesraan hubungan jiwa,
nafkah berupa makanan, pakaian, tempat tinggal dan lain-lain perkara yang
diwajibkan Allah kepada setiap suami.
Adil di antara isteri-isteri ini hukumnya wajib,
berdasarkan firman Allah dalam Surah an-Nisa ayat 3 dan juga sunnah Rasul.
Rasulullah (s.a.w.) bersabda, maksudnya;
“Barangsiapa yang mempunyai dua isteri,
lalu dia cenderung kepada salah seorang di antaranya dan tidak berlaku adil
antara mereka berdua, maka kelak di hari kiamat dia akan datang dengan keadaan
pinggangnya miring hampir jatuh sebelah.” (Hadis riwayat Ahmad bin Hanbal)
c.
Adil memberikan nafkah.
Dalam soal adil
memberikan nafkah ini, hendaklah si suami tidak mengurangi nafkah dari salah
seorang isterinya dengan alasan bahwa si isteri itu kaya atau ada sumber
kewangannya, kecuali kalau si isteri itu rela. Suami memang boleh menganjurkan
isterinya untuk membantu dalam soal nafkah tetapi tanpa paksaan. Memberi nafkah
yang lebih kepada seorang isteri dari yang lain-lainnya diperbolehkan dengan
sebab-sebab tertentu. Misalnya, si isteri tersebut sakit dan memerlukan biaya
rawatan sebagai tambahan.
Prinsip adil ini tidak
ada perbezaannya antara gadis dan janda, isteri lama atau isteri baru, isteri
yang masih muda atau yang sudah tua, yang cantik atau yang tidak cantik, yang
berpendidikan tinggi atau yang buta huruf, kaya atau miskin, yang sakit atau
yang sihat, yang mandul atau yang dapat melahirkan. Kesemuanya mempunyai hak
yang sama sebagai isteri.
d.
Adil dalam menyediakan tempat tinggal.
Selanjutnya, para ulama
telah sepakat mengatakan bahwa suami bertanggungjawab menyediakan tempat
tinggal yang tersendiri untuk tiap-tiap isteri berserta anak-anaknya sesuai
dengan kemampuan suami. Ini dilakukan semata-mata untuk menjaga kesejahteraan
isteri-isteri, jangan sampai timbul rasa cemburu atau pertengkaran yang tidak
diingini.
e.
Adil dalam giliran,
Demikian juga, isteri
berhak mendapat giliran suaminya menginap di rumahnya sama lamanya dengan waktu
menginap di rumah isteri-isteri yang lain. Sekurang-kurangnya si suami mesti
menginap di rumah seorang isteri satu malam suntuk tidak boleh kurang. Begitu
juga pada isteri-isteri yang lain. Walaupun ada di antara mereka yang dalam
keadaan haidh, nifas atau sakit, suami wajib adil dalam soal ini. Sebab, tujuan
perkahwinan dalam Islam bukanlah semata-mata untuk mengadakan ‘hubungan seks’
dengan isteri pada malam giliran itu, tetapi bermaksud untuk menyempumakan
kemesraan, kasih sayang dan kerukunan antara suami isteri itu sendiri. Hal ini
diterangkan Allah dengan firman-Nya;
وَمِنْ ءَايَاتِهِ خَلْقُ
السَّمَاوَاتِ وَاْلأَرْضِ وَاخْتِلاَفُ أَلْسِنَتِكُمْ وَأَلْوَانِكُمْ إِنَّ فِي
ذَلِكَ لأَيَاتْ لِّلْعَالَمِينَ
“Dan di antara tanda-tanda yang membuktikan
kekuasaan-Nya, dan rahmat-Nya, bahwa la menciptakan untuk kamu (wahai kaum
lelaki), isteri-isteri dari jenis kamu sendiri, supaya kamu bersenang hati dan
hidup mesra dengannya, dan dijadikan-Nya di antara kamu (suami isteri) perasaan
kasih sayang dan belas kasihan. Sesungguhnya yang demikian itu mengandungi
keterangan-keterangan (yang menimbulkan kesedaran) bagi orang-orang yang
berfikir.”
(Al-Qur’an, Surah ar-Ruum ayat 21)
Andaikan suami tidak bersikap adil kepada
isteri-isterinya, dia berdosa dan akan menerima seksaan dari Allah (SWT) pada hari
kiamat dengan tanda-tanda berjalan dalam keadaan pinggangnya miring. Hal ini
akan disaksikan oleh seluruh umat manusia sejak Nabi Adam sampai ke anak
cucunya.
Firman Allah (SWT) dalam Surah az-Zalzalah ayat
7 hingga 8;
يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا
يَرَهُ - وَمَن يَعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَرَهُ
“Maka sesiapa berbuat kebajikan seberat zarrah,
nescaya akan dilihatnya (dalam surat amalnya)! Dan sesiapa berbuat kejahatan
seberat zarrah, nescaya akan dilihatnya (dalam surat amalnya).”
2.4 Anak-anak juga mempunyai hak untuk
mendapatkan perlindungan, pemeliharaan serta kasih sayang yang adil dari
seorang ayah.
Oleh itu, disyaratkan
agar setiap suami yang berpoligami tidak membeda-bedakan antara anak si A
dengan anak si B. Berlaku adil dalam soal nafkah anak-anak mestilah
diperhatikan bahwa nafkah anak yang masih kecil berbeda dengan anak yang sudah
besar. Anak-anak perempuan berbeda pula dengan anak-anak lelaki. Tidak kira
dari ibu yang mana, kesemuanya mereka berhak memiliki kasih sayang serta
perhatian yang seksama dari bapa mereka. Jangan sampai mereka diterlantarkan
karena kecenderungan si bapa pada salah seorang isteri serta anak-anaknya saja.
Keadilan juga sangat
dituntut oleh Islam agar dengan demikian si suami terpelihara dari sikap curang
yang dapat merosakkan rumah tangganya. Seterusnya, diharapkan pula dapat
memelihara dari terjadinya cerai-berai di antara anak-anak serta menghindarkan
rasa dendam di antara sesama isteri.
Sesungguhnya kalau
diperhatikan tuntutan syara’ dalam hal menegakkan keadilan antara para isteri,
nyatalah bahwa sukar sekali didapati orang yang sanggup menegakkan keadilan itu
dengan sewajarnya.
Bersikap adil dalam
hal-hal menzahirkan cinta dan kasih sayang terhadapisteri-isteri, adalah satu
tanggung jawab yang sangat berat. Walau bagaimanapun, ia termasuk perkara yang
berada dalam kemampuan manusia. Lain halnya dengan berlaku adil dalam soal
kasih sayang, kecenderungan hati dan perkara-perkara yang manusia tidak
berkesanggupan melakukannya, mengikut tabiat semula jadi manusia.
Hal ini sesuai dengan
apa yang telah difirmankan Allah dalam Surah an-Nisa ayat 129 yang berbunyi;
وَلَن تَسْتَطِيعُوا أَن تَعْدِلُوا
بَيْنَ النِّسَآءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ فَلاَ تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ
فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ وَإِن تُصْلِحُوا.......
“Dan kamu
tidak sekali-kali akan sanggup berlaku adil di antara isteri-isteri kamu
sekalipun kamu bersungguh-sungguh (hendak melakukannya); oleh itu janganlah
kamu cenderung dengan melampau-lampau (berat sebelah kepada isteri yang kamu
sayangi) sehingga kamu biarkan isteri yang lain seperti benda yang tergantung
(di awang-awang).”
Selanjutnya Siti ‘Aisyah (r.a.) menerangkan,
maksudnya;
Bahwa Rasulullah (s.a.w.) selalu berlaku adil
dalam mengadakan pembahagian antara isteri-isterinya. Dan beliau berkata dalam
doanya: “Ya Allah, inilah kemampuanku membahagi apa yang ada dalam milikku. Ya
Allah, janganlah aku dimarahi dalam membahagi apa yang menjadi milikku dan apa
yang bukan milikku”
Menurut Prof. Dr. Syeikh
Mahmoud Syaltout; “Keadilan yang dijadikan syarat diperbolehkan poligami berdasarkan
ayat 3 Surah an-Nisa. Kemudian pada ayat 129 Surah an-Nisa pula menyatakan
bahwa keadilan itu tidak mungkin dapat dipenuhi atau dilakukan. Sebenarnya yang
dimaksudkan oleh kedua ayat di atas ialah keadilan yang dikehendaki itu
bukanlah keadilan yang menyempitkan dada kamu sehingga kamu merasakan keberatan
yang sangat terhadap poligami yang dihalalkan oleh Allah. Hanya saja yang
dikehendaki ialah jangan sampai kamu cenderung sepenuh-penuhnya kepada salah
seorang saja di antara para isteri kamu itu, lalu kamu tinggalkan yang lain
seperti tergantung-gantung.”
Kemudian Prof. Dr. T.M.
Hasbi Ash-Shidieqy pula menerangkan; “Orang yang boleh beristeri dua ialah yang
percaya benar akan dirinya dapat berlaku adil, yang sedikit pun tidak akan ada
keraguannya. Jika dia ragu, cukuplah seorang saja.”
“Adil yang dimaksudkan di sini ialah
‘kecondongan hati’. Dan ini tentu amat sulit untuk dilakukan, sehingga poligami
adalah suatu hal yang sukar untuk dicapai. Jelasnya, poligami itu diperbolehkan
secara darurat bagi orang yang benar-benar percaya dapat berlaku adil.”
Selanjutnya beliau menegaskan, jangan sampai si
suami membiarkan salah seorang isterinya terkatung-katung, digantung tak
bertali. Hendaklah disingkirkan sikap condong kepada salah seorang isteri yang
menyebabkan seorang lagi kecewa. Adapun condong yang dimaafkan hanyalah condong
yang tidak dapat dilepaskan oleh setiap individu darinya,yaitu condong hati
kepada salah seorangnya yang tidak membawa kepada mengurangkan hak yang seorang
lagi.
Afif Ab. Fattah Tabbarah dalam bukunya
Ruhuddinil Islami mengatakan; “Makna adil di dalam ayat tersebut ialah
persamaan; yang dikehendaki ialah persamaan dalam hal pergaulan yang bersifat
lahir seperti memberi nafkah, tempat tinggal, tempat tidur, dan layanan yang
baik, juga dalam hal menunaikan tanggungjawab sebagai suami isteri.”
2.5 Hikmah Diperbolehkannya Poligami
Islam adalah kata akhir
Allah yang dengannya ia menutup risalah-risalah sebelumnya. Karena itulah, ia
juga membawa syariat yang universal dan abadi, untuk seluruh penjuru dunia
untuk semua zaman dan untuk semua umat manusia.
Ia tidak membuat syariat
untuk orang kota dengan melalaikan orang desa, tidak untuk masayarakat daerah
beriklim dingin dengan merupakan masyarakat beriklim tropis dan tidak pula
suatu abad dengan melupakan abad dan generasi lain.
Ia telah mengukur kebutuhan
individu, kebutuhan masyarakat, sekaligus kadar kepentingan semua pihak. Ada
diantara mereka yang memiliki semangat besar untuk memiliki keturunan, akan
tetapi diberi rezeki dengan istri yang tidak beranak karena mandul,
berpenyakit, atau sebab lainnya.
Ada satu diantara tiga
pilihan bagi perempuan yang jumlahnya berlebih dibanding dengan jumlah
laki-laki:
- Menghabiskan seluruh masa hidupnya dengan menelan kenyataan pahit tidak mendapatkan jodoh.
- Melepaskan kendali, menjadi pemuas nafsu bagi laki-laki hidung belang yang diharamkan.
- Atau menikah dengan seorang laki-laki beristri yang mampu memberi nafkah dan berlaku baik.
Tidak diragukan lagi,
cara terakhir adalah alternatif yang adil, dan merupakan solusi terbaik
terhadap permasalahan yang akan dihadapinya. Dan itulah keputusan hukum islam,
“ Apakah
hukum Jahiliyah yang mereka kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik
daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin “
Itulah poligami, yang tidak
diterima orang-orang barat yang Nasrani itu. Mereka mencibir dan
memperolok-olok kaum muslimin dengan syariat yang membolehkan poligami ini.
Namun pada waktu yang bersamaan, mereka mengizinkan kaum lelakinya berhubungan
dengan perempuan-perempuan nakal dan teman-eman hidup tanpa batas atau pun
perhitungan, tidak berdasarkan pada undang-udang atau pun norma yang patut bagi
perempuan dan keturunan yang dilahirkan, sebagai buah dari “poligami” atheis
dan amoral.
2.6 Dampak Negatif Poligami
2.6.1 Terhadap Kehidupan Rumah Tangga
Dampak poligami terhadap
kehidupan rumah tangga antara lain :
- Ketidakharmonisan hubungan anggota keluarga.
- Sering timbul permasalahan atau percek-cokan.
- Tidak adanya rasa saling pecaya.
- Tidak adanya kepedulian yang besar dari suami terhadap anak dan isteri.
- Kemungkinan dapat menyebabkan perceraian.
2.6.2 Dampak yang Umum Terjadi Terhadap Istri
Menurut buku ‘Agar Suami
Tak Berpoligami’, dampak-dampak umum yang dapat terjadi bagi para istri yang
suaminya berpoligami adalah,
Dampak psikologis: perasaan inferior istri dan
menyalahkan diri karena merasa tindakan suaminya berpoligami adalah akibat dari
ketidakmampuan dirinya memenuhi kebutuhan biologis suaminya.
Dampak ekonomi rumah
tangga: Ketergantungan secara ekonomi kepada suami. Walaupun ada beberapa suami
memang dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya, tetapi dalam prakteknya
lebih sering ditemukan bahwa suami lebih mementingkan istri muda dan
menelantarkan istri dan anak-anaknya terdahulu.. Akibatnya istri yang tidak
memiliki pekerjaan akan sangat kesulitan menutupi kebutuhan sehari-hari.
Kekerasan terhadap perempuan, baik kekerasan fisik, ekonomi, seksual
maupun psikologis. Hal ini umum terjadi pada rumah tangga poligami, walaupun begitu
kekerasan juga terjadi pada rumah tangga yang monogami.
Dampak hukum: Seringnya
terjadi nikah di bawah tangan (perkawinan yang tidak dicatatkan pada Kantor
Catatan Sipil atau Kantor Urusan Agama), sehingga perkawinan dianggap tidak sah
oleh negara, walaupun perkawinan tersebut sah menurut agama. Pihak perempuan
akan dirugikan karena konsekwensinya suatu perkawinan dianggap tidak ada,
seperti hak waris dan sebagainya.
Dampak kesehatan:
Kebiasaan berganti-ganti pasangan menyebabkan suami/istri menjadi rentan terhadap
penyakit menular seksual (PMS), bahkan rentan terjangkit virus HIV/AIDS.
2.6.3 Dampak Negatif Poligami Terhadap Anak
Poligami tidak hanya
berdampak negative terhadap kehidupan rumah tangga dan isteri,namun poligami
juga berdampak negative terhadap anak,antara lain:
- Sang anak merasa tidak mendapatkan perhatian dari orang tuanya.
- Anak menjadi frustasi melihat keadaan orang tuanya.
- Anak mendapat tekanan mental.
- Adanya rasa benci kepada sang ayah.
- Dicemooh oleh teman-temannya.
- Anak tidak betah di rumah.
- Tidak menutup kemungkinan anak menjadi melakukan perbuatan yang tidak baik.
- Anak mengikuti pergaulan yang negative.
- Anak tidak semangat belajar.
- Anak menjadi beranggapan negative terhadap orang tua.
2.7 Pandangan Saya sebagai Mahasiswa Terhadap
Poligami
Menurut saya sendiri
sebagai mahasiswa lajang tentang poligami. Boleh tidaknya poligami itu
tergantung dari masing-masing orang yang mau menjalaninya, mungkin dengan
segala pertimbangan yang seksama. Apa akibat yang akan timbul seelah dia
melakukan poligami.
Tapi saya sempat
menanyakan pendapat dari teman-teman “bagaimana tentang poligami menurut
kalian?”. Dan jawaban mereka beragam :
- Menindas kaum wanita dan secara tidak langsung menginjak-injak harga diri wanita.
- Tidak adil untuk perempuan
- Menyakiti kaum wanita
- Dapat merusak kebahagian keluarga
- Sanksi di akhirat sangat besar apabila tidak bisa berlaku adil
- Berdampak negatif terhadap anak
Saya bisa mengetahui
bahwa sebagian besar dari teman-teman saya tidak setuju akan poligami. Banyak
dari mereka masih beranggapan bahwa poligami adalah suatu tindakan yang tidak
baik. Baik temen laki-laki maupun perempuan menganggap bahwa poligami
hanya akan menimbulkan konflik-konflik atau masalah-masalah yang dapat merusak
keharmonisan suatu keluarga. Hanya sedikit dari mereka yang mengaku setuju pada
poligami. Meskipun sedikit, ini membuktikan bahwa masih ada orang yang
memandang poligami dari sisi positif, dan memaklumi poligami asalkan alasannya
jelas.
Sebagian besar dari dari
teman-teman saya beranggapan tidak perlu ada Undang-Undang yang mengatur
Poligami. Karena mereka beranggapan bahwa poligami adalah hak setiap orang dan
tidak ada hadist atau pun ayat AL-QURAN yang secara terang-terangan melarang
poligami. Namun, ada juga yang berpendapat bahwa Undang-Undang yang mengatur
poligami sangat diperlukan, karena dapat memperjelas hukum tentang poligami di
Indonesia.
Di sekitar tempat
tinggal mereka jarang terdapat orang yang berpoligami. Kalau pun ada, hanya
beberapa orang saja yang mempunyai tetangga atau keluarga yang berpoligami.
Saya hanya menemukan 2 kasus yang mengatakan bahwa ayahnya sendiri yang
melakukan poligami. Ada yang mengaku bahwa ayahnya sendiri melakukan poligami
berencana akan mengikuti jejak ayahnya. Sedangkan ada juga yang mengaku ayahnya
berpoligami, mengaku membenci ayahnya dan merasa kasihan terhadap ibunya. Dari
dua kasus tersebut, saya dapat mengetahui bahwa poligami membawa dampak negatif
bagi anak. Anak akan membenci orangtuanya dan akan mengikuti jejak sang
ayah. Ada juga yang mempunyai tetangga yang berpoligami, menurutnya orang yang
berpoligami memang kurang harmonis dan suami jarang pulang. Meski begitu suami
masih bertanggung jawab dan menafkahi keluarga tersebut.
Dari keterangan di atas,
sebagian besar teman-teman saya memang menentang atau tidak setuju terhadap
poligami, terutama perempuan. Namun masih ada yang setuju akan poligami karena
beranggapan poligami adalah salah satu cara dalam menghindari perzinaan dan
mengangkat derajat wanita-wanita yang tidak memiliki suami.
BAB IV
PENUTUP
3.1 Kesimpulan :
Dari data-data yang saya peroleh, baik dari
buku, internet serta dari teman-teman yang saya mintai pendapat, Saya dapat
menyimpulkan bahwa pada dasarnya poligami diperbolehkan oleh agama apabila
tujuannya baik dan sang suami dapat berlaku adil terhadap istri-istrinya dan
jumlah istrinya tidak melebihi 4 orang. Namun masyarakat masih beranggapan
negatif kepada orang-orang yang berpoligami. Hal ini terjadi karena masalah
poligami masih tabu di masyarakat.
3.2 Saran :
Sebaiknya masyarakat tidak selalu beranggapan
negatif terhadap seseorang yang melakukan poligami karena ia pasti memiliki
alasan-alasan serta faktor-faktor yang jelas untuk melakukan poligami. Selain
itu, sebaiknya para suami jangan melakukan poligami apabila tidak dapat berlaku
adil bagi istri-istrinya karena hukuman bagi suami yang tidak bisa berlaku adil
sangatlah pedih.
Nabi bersabda, “Barang siapa beristri dua dan
tidak berlaku adil pada keduanya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam
keadaan tubuhnya.” (HR Tirmidzi dan Al Hakim)
Daftar Pustaka
Abdillah, Abu Azzam.2007.Agar Suami Tak
Berpoligami.Bandung: Ikomatuddin Press.
Aydi, Hasan.2007.Poligami Syariah dan Perjuangan
Kaum Perempuan.Bandung: Alfa Beta.
Faqih, Khoyin Abu.2007.Poligami Solusi atau
Masalah.Jakarta: Al-I’tishom Cahaya Umat.
Gusmaian,Islah.2007.Mengapa Nabi Muhammad
Berpoligami.Jogjakarta:Putaka Marwa.
Hathaut, Hasan.2007.Panduan Seks
Islami.Jakarta:Zahra.
Husaein, Abdulrahman.2006.Hitam Putih
Poligami.Jakarta:Fakultas Ekonomi UI.
Sumber internet:
Mba izin copy paste artikel ini ya...
BalasHapusdari Masruri
di cilacap
sangat membantu :)
BalasHapusizin copy, Trimks
BalasHapus